KedaiPena.Com – Penolakan Walikota Surabaya, Tri Rismaharini atau dikenal dengan Risma untuk maju di Pilkada DKI 2017 mewakili praktik etika politik yang luhur dari seorang pejabat daerah.
Bahwa janji atas amanat, khususnya terkait masa jabatan seorang kepala daerah kepada rakyatnya, harus dituntaskan.
“Dan praktik etika politik tentang masa jabatan kepala daerah yang harus dituntaskan hingga selesai, seperti ditunjukkan oleh Risma harus segera mungkin untuk dilembagakan,” kata penggiat Komunitas Intelektual Aktivis (KIAT) 98, Nanang Djamaluddin kepada KedaiPena.Com, Sabtu (23/7).
Cara melembagakannya, lewat pengaturan undang-undang yang tidak memperbolehkan seorang kepala daerah di tengah jalan, lompat ingin menjadi kepala daerah di daerah lainnya, atau ikut menjadi caleg, maupun menjadi capres atau cawapres sekalipun yang meminta ketum partai atau siapapun.
“Tak bisa terus-menerus dibiarkan adanya wilayah abu-abu dari sebuah aturan yang memungkinkan seorang kepala daerah bisa loncat ikut pilkada lain sementara dianya masih menjabat,” sambung dia.
(Prw)