KedaiPena.Com – Komitmen pemerintah terhadap konservasi spesies langka di Indonesia disebut sudah cukup tinggi. Akan tetapi, hal tersebut tidak dibarengi dengan aksi dan perencanaan yang lebih baik untuk memastikan tidak adanya persoalan, misalnya seperti pembebasan kawasan hutan.
“Artinya, komitmen itu ada dan jelas. Karena ada undang-undang yang mengatur yang dikeluarkan oleh Kementrian Kehutanan untuk mempertahankan dan meningkatkan spesies langka. Itukan komitmen semua. Tapi itu tidak cukup jika hanya sebatas komitmen,†ucap Direktur Yayasan Orangutan Sumatera Lestari – Orangutan Information Centre (YOSL – OIC), Panut Hadisiswoyo kepada KedaiPena.Com di Medan.
Panut mengatakan bahwa aksi yang dilakukan pemerintah dilapangan dinilai belum mengena, sehingga persoalan yang ada tidak dapat terselesaikan dengan baik. Ia pun memisalkan penegakan hukum yang masih lemah, walaupun saat ini sudah ada Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Gakum LHK).
Dimana, kata Panut, kemungkinan dari kasus-kasus yang ditemukan dilapangan lebih banyak temuan-temuan saja. Sementara yang dibawa ke ranah hukum masih sangat rendah angka persentasinya. “Misalnya, saat patroli kita menemukan pemburu ataupun perambah. Tetapi tidak semua temuan itu bisa dibawa ke ranah hukum,†katanya.
Panut menyebut, berbagai faktor mengapa proses hukum tidak dilakukan terhadap aktifitas yang merugikan Orangutan diantaranya kondisi politik, keamanan, kondisi sosial ekonomi masyarakat.
“Hal ini sangat mempengaruhi, bahkan terkadang ada yang membeda-bedakan. Misalnya, oh ini persoalannya nanti akan berimbas pada anti klimaks kondisi keamanan regional jadi gak usah diangkat. Hal inilah yang terkadang menjadi sangat berpengaruh. Contoh lainnya, tidak ada satupun kasus orang yang memelihara orangutan itu dibawa sampai ke ranah hukum. Itu tidak ada di Indonesia. Padahal ini bukan tidak ada yang memelihara, bahkan itu ada yang ditemukan dan disita oleh negara. Tetapi negara sendiri yang tidak melakukan proses hukum,†papar Panut.
Hal ini, sambung Panut, kemungkinan disebabkan oleh beberapa faktor, seperti kurangnya edukasi. “Mungkin mereka perlu dibina dulu, makanya tidak perlu sampai ke ranah hukum. Karena mungkin hanya masyarakat kecil yang memelihara, tapi hal itu suatu perspektif yang salah menurut saya,†pungkas Panut.
Laporan: Iam