Artikel ini ditulis oleh Ahmad Khozinudin, S.H., Pengacara Muslim.
[Catatan Lanjutan Menjelang Pembacaan Pledoi Gus Nur, Selasa, 28 Maret 2023 di PN Surakarta]
Masalah keaslian Ijazah Presiden Joko Widodo, sejatinya bukanlah hal kecil. Masalah ini jelas berkaitan dengan keabsahan jabatan seorang kepala Negara sekaligus Kepala Pemerintahan, yang memimpin sebuah Negara dengan jumlah pendduduk diatas 280 juta jiwa.
Memberikan Keterangan Yang Tidak Benar dan/atau Memberikan Dokumen Palsu berupa Ijazah (Bukti Kelulusan) Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP) & Sekolah Menengah Atas (SMA) Atas Nama Saudara Joko Widodo Dalam Proses Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Periode 2019-2024, jelas merupakan perbuatan tercela dan telah membatalkan pemegang jabatan Presiden karena tidak memenuhi syarat.
Dalam ketentuan Pasal 7A UUD 1945 disebutkan:
“Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.”
Perbuatan memalsukan ijazah, baik ijazah SD, SMP, SMA maupun S-1 terkategori perbuatan tercela yang menjadi dasar pemakzulan Presiden Joko Widodo. Perbuatan memalsukan ijazah, baik ijazah SD, SMP, SMA maupun S-1 menjadikan Presiden Joko Widodo tidak lagi memenuhi syarat memegang jabatannya sehingga konsekuensinya juga harus dimakzulkan.
Proses pemakzulan ini bukanlah kewenangan, tugas dan tanggung jawab Gus Nur. Konstitusi telah mengatur mekanisme dan tata caranya, sesuai dengan kewenangan lembaga Negara yang terkait.
Semestinya, kasus ijazah palsu Jokowi ini segera ditindaklanjut oleh wakil rakyat di DPR, melalui tahapan-tahapan sebagai berikut:
Pertama, usul pemberhentian presiden Joko Widodo dapat diajukan oleh DPR kepada MPR hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan pendapat DPR bahwa presiden dan/atau wakil presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa perbuatan tercela karena telah membuat dan/atau menggunkan ijazah palsu saat kontestasi Pilpres 2019; dan/atau presiden Joko Widodo tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden karena berijah palsu.
Kedua, pengajuan permintaan DPR kepada MK hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR.
Ketiga, MK wajib memeriksa, mengadili, dan memutuskan dengan seadil-adilnya terhadap pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh presiden dan/atau wakil presiden tersebut paling lama 90 hari setelah permintaan DPR itu diterima oleh MK.
Keempat, apabila MK memutuskan bahwa presiden dan/atau wakil presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum, DPR menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden kepada MPR.
Kelima, MPR wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul DPR tersebut paling lama 30 hari sejak MPR menerima usul tersebut.
Keenam, Keputusan MPR atas usul pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden harus diambil dalam rapat paripurna MPR yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah presiden dan/atau wakil presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna MPR. Sehingga, dapat kita ketahui bahwa pemberhentian presiden dilakukan oleh MPR, namun dalam prosesnya melibatkan juga peran DPR dan MK.
Secara singkat, usul pemberhentian presiden pertama-tama diajukan oleh DPR, yang kemudian usulan tersebut diputus terlebih dahulu oleh MK. Jika MK memutuskan bahwa terjadi pelanggaran hukum, barulah MPR menyelenggarakan sidang atas usul pemberhentian presiden tersebut.
Namun lembaga wakil rakyat atau DPR, yang secara konstitusi mewakili rakyat untuk kepentingan ini malah diam membisu. Masalah ijazah palsu ini dibiarkan beredar ke seantero negeri, DPR tidak menjalankan tugas kontrol eksekutif untuk memastikan kasus ini berhenti secara konstitusi.
Andaikan DPR telah melakukan proses pemakzulan, dimana DPR telah bersidang untuk itu dan tidak memenuhi syarat untuk dilanjutkan karena tidak disetujui oleh minimal 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, maka DPR telah bertanggungjawab kepada rakyat dengan telah melaksanakan mekanismenya.
Masalah ijazah palsu ini otomatis dapat dihentikan, dengan alasan proses pemakzulan telah dilakukan namun terhenti karena dalam mekanisme sidang di DPR tidak mendapat persetujuan oleh minimal 2/3 dari jumlah anggota yang hadir.
Diamnya Wakil Rakyat dan politisi di negeri ini soal ijazah palsu Jokowi, bukan mengkonfirmasi Ijazah Jokowi asli. Melainkan mengkonfirmasi lembaga DPR telah mandul dalam menjalankan fungsinya.
DPR tidak lebih dari lembaga stempel politik. DPR tidak ada yang berani menyuarakan kebenaran, diam membisu menyaksikan kemungkaran dan kekisruhan akibat isu ijazah palsu Jokowi. Bukti DPR hanya menjadi alat stempel politik eksekutif, diantaranya melalui sikap politik DPR yang mengesahkan Perppu Cipta Kerja baru-baru ini, yang banyak mendapat penentangan dari segenap elemen masyarakat.
Masalah ijazah palsu Joko Widodo ini sebenarnya bukan hanya urusan Gus Nur, melainkan satu persoalan yang berkaitan dengan kepentingan segenap rakyat, kepentingan legalitas jabatan Presiden Joko Widodo, juga kepentingan legacy sejarah yang akan diwariskan untuk generasi selanjutnya.
Untuk memastikan sejarah Indonesia bersih dari cerita Presiden berijazah palsu, untuk membersihkan nama baik dan reputasi seorang Joko Widodo, Presiden Joko widodo semestinya datang ke Pengadilan Negeri Surakarta dengan membawa ijazah aslinya.
Dalam sebuah persidangan yang terbuka untuk umum, dengan kesatria Presiden Jokowi menyampaikan kepada segenap rakyat bahwa dirinya Presiden sah, memenuhi syarat dan tidak tercela, sambil menunjukkan ijazah aslinya.
Sayangnya, Presiden Joko Widodo tidak hadir dan tidak dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum, padahal namanya disebut-sebut dalam materi dakwaan. Presiden Joko Widodo juga tidak mau mengutus staf untuk menunjukan ijazah aslinya. Sehingga, melalui persidangan ini publik justru semakin yakin ijazah Presiden Joko Widodo palsu.
Sebab, jika memiliki ijazah asli, apa susahnya menunjukan ijazah tersebut dihadapan rakyat melalui lembaga peradilan?
Bersambung…
[***]