Artikel ini ditulis oleh Ahmad Khozinudin,
Sastrawan Politik.
Untuk mengawali tulisan, saya tegaskan data subsidi BBM Rp502 T yang disampaikan Jokowi dan menterinya itu hoax. Jokowi dan menterinya bisa dipidana dengan pasal menyebar kebohongan atau setidaknya menyampaikan kabar yang tidak lengkap dan tidak pasti, yang patut diduga menerbitkan keonaran ditengah masyarakat, berdasarkan pasal 14 dan/atau 15 UU No 1/1946 tentang peraturan hukum pidana. Ancamannya, 10 tahun penjara.
Tidak ada subsidi Rp502 triliun. Wong Subsidi energi tahun 2022 dalam APBN hanya sebesar Rp208,9 triliun. Itu pun sudah meliputi subsidi BBM dan LPG pertamina Rp149,4 triliun, serta subsidi listrik Rp59,6 triliun.
Jokowi seharusnya jujur, bahwa yang besar itu bukan subsidi tapi utang. Angka sisanya sebesar Rp343 trilliun itu untuk membayar utang kompensasi alias utang pemerintah ke Pertamina dan PLN tahun 2022 sebesar Rp234,6 triliun dan utang tahun 2021 sebesar Rp108,4 triliun. Ini kan rezim memang gemar utang.
Dan yang menyakitkan, saat rakyat diminta mengerti atas beban APBN karena kenaikan harga minyak dunia, direksi Pertamina malah mendapatkan gaji foya foya. Menurut laporan keuangan Pertamina, pada 2018 jajaran direksi dan komisaris mendapat kompensasi, yakni gaji dan imbalan lainnya, sebesar USD47,27 juta dengan rincian kompensasi manajemen kunci perusahaan USD29,81 juta dan komisaris USD17,46 juta.
Jika dirupiahkan dengan kurs tengah tahun itu Rp14.481 per USD, direksi dan komisaris Pertamina mendapat kompensasi dengan nilai total Rp684,86 miliar, yakni direksi sebesar Rp431,66 miliar dan komisaris Rp252,89 miliar.
Kemudian pada 2019 nilai kompensasi direksi dan komisaris naik menjadi USD49,92 juta atau Rp693,95 miliar dengan kurs Rp13.901/USD, yakni direksi sebesar 23,64 juta USD atau Rp328,55 miliar, dan komisaris 26,29 juta USD atau Rp365,40 miliar.
Sedangkan pada 2020 ketika kinerja Pertamina terpukul pandemi Covid-19, kompensasi direksi dan komisaris turun menjadi 38,89 juta USD atau sekitar Rp565,06 miliar dengan kurs Rp14.529 per USD. Direksi mendapatkan USD27,83 juta atau Rp404,31 miliar, sedangkan komisaris USD11,06 juta atau Rp160,75 miliar.
Tahun 2022 ini tentu angkanya lebih fantastis lagi. Apalagi kurs rupiah terhadap dolar jauh lebih menggiurkan.
Pemerintah tereak-tereak soal subsidi BBM membebani APBN. Sementara, pendapatan atau kompensasi yang diterima direksi Pertamina ugal-ugalan, foya-foya diatas derita rakyat. Bagaimana rakyat tidak marah?
Kalau misalnya, gaji Direksi Pertamina cuma Rp50 juta. Pemerintah melakukan berbagai upaya penghematan. Proyek Kereta cepat dan IKN dibatalkan. Gaji Presiden, Menteri dan DPR RI disunat semua. Lalu mengajak rakyat untuk memahami beban pemerintah, baru masuk akal.
Diminta mengerti pada kebijakan yang tak berempati. Mana bisa? Kalau mau bicara berhemat, kasih contoh dong? Jangan rakyat dipaksa BBM naik, gaji direksi Pertamina tetap foya-foya.
[***]