Artikel ini ditulis oleh Erizeli Bandaro, Blogger, Pemerhati Sospolbudtek.
Hackers terbesar dan tercanggih di dunia ini adalah pemerintah China. Di China ada aplikasi pembayaran pajak secara online. Semua pribadi dan perusahaan harus menggunakan aplikasi ini, Sekali mereka download maka otomatis mereka terhubung dengan hacker tercanggih milik negara. Hape mereka sudah terekam semua oleh pemerintah. Di kantor semua databased perusahaan sudah terekam oleh pemerintah. Mau lari kemana?. Engga bisa. Karena aplikasi itu terhubung dengan ID/ izin usaha, rekening bank.
China melarang email dan sosial media asing. Hanya boleh gunakan email dan sosial media, WeChat. Tetapi pelarangan itu tidak dalam bentuk UU. Orang asing di China bisa gunakan aplikasi Gmail, facebook dan lainnya. Tetapi ketika mereka mengirim email ke bank, instansi pemerintah seperti imigrasi, kantor polisi, kantor Pemda, kantor kementrian, notaris, lawyer dan lain lain harus menggunakan WeChat. Kalau gunakan aplikasi selain WeChat, pasti tidak akan dilayani. Bahkan kalau di hape atau komputer anda ada aplikasi Gmail ya ke block otomatis untuk akses ke aplikasi pelayanan publik.
Kalau pemerintah China jago dalam hal hackers, tentu mereka juga jago dalam hal melindungi diri dari hackers pihak lain. Mereka punya standar sekuriti bukan hanya pada software tetapi juga sampai level network. Maklum di China, jaringan telekomunikasi dan IT seperti Fiber optic, Satelite, Network access point, Gateway internet dan Datacenter (big data) lainnya di miliki negara. Tidak boleh swasta memiliki. Sistem jaringan ini dkendalikan oleh militer. Dengan kekuatan dan penguasaan negara terhadap jaringan IT, ya mereka kendalikan semua aplikasi IT, termasuk sekuritinya.
“Amnesty International memberi peringkat 11 aplikasi perpesanan teratas pada penggunaan enkripsi dan perlindungan privasi pengguna pada skala 0 hingga 100. Facebook menerima peringkat tertinggi 73. WeChat menerima peringkat nol. Karena memang tidak ada keamanan privasi. Pemerintah China juga punya pasukan militer khusus yang kerjaannya menciptakan virus dan menjadi hackers. Mereka mendirikan perusahaan anti virus di London dan AS. Beroperasi secara komersial. Tetapi itu semua bagian dari operasi spionase,“ kata teman.
Mengapa China segitunya melengkapi dirinya dalam hal IT. Karena mereka negara besar. Mereka sadar saat mereka masuk dalam era digital, mereka tidak bisa menutup dirinya. Tetapi mereka juga tidak mau jadi konyol dan bego karena ulah hacker dan membiarkan dengan bebas asing atau pihak lain mengintip privasi warganya. Sama halnya saat mereka masuk sistem kapitalisme. Mereka harus membuka diri tetapi mereka juga tidak mau konyol dan bego oleh kebebasan pasar sehingga keterbatasan modal rakyat membuat mereka jadi pencundang.
“B, ini masalah nation interest,“ kata pejabat CHina ketika saya tanya soal fenomena IT. “Kalau negara tidak hadir secara smart dan canggih, itu sama saja pemerintah menyerahkan rakyat dan negara kepada kekuatan pihak luar. Sekali itu terjadi, pemerintah lemah. Kalau lemah ya semua kebijakan jadi bahan tertawaan. Pemerintah yang lemah satu hal, tapi pemerintah yang diketawain orang lain, itu udah no hope. Lebih buruk dari monyet,” lanjutnya.
Kalau inginkan negeri ini menjadi negara maju maka negara harus dikelola berbasis riset. Kebijakan pro riset. Lembaga riset harus menjadi lembaga berwibawa seperti Chinese Academy of Science. Anggaran mereka setahun mencapai USD 275 miliar atau 2,1 persen dari PDB. China bisa merebut kekuatan ekonomi dunia karena dukungan riset. Israel adalah negara yang dibangun dengan bertumpu kepada riset. Negara yang paling tinggi anggaran risetnya, yang mencapai 4,9 persen dari PDB. Makanya walau negara kecil dan sumber daya terbatas, Israel sangat berperanguh sebagai supply chain global dalam bidang IPTEK.
Kelemahan Indonesia sejak era Orba, design pembangunan tidak bertumpu kepada riset. Kita lebih mengandalkan kepada SDA. Politik kita adalah politik feodal. Dimana segelintir orang tanpa kerja banyak dan memeras otak bisa kaya raya dari SDA. Kebijakan negara kepada politik feodalisme. Tidak ada design jangka panjang penguasaan tekhnologi dan kemandirian. Sampai era reformasi, khususnya di era SBY, malah Indonesia masuk era de-industrialisasi. Ketergantungan impor sangat tinggi. Riset semakin terabaikan. Banyak SDM hebat lulusan Universitas terbaik malah berkarir di luar negeri.
Era Jokowi, perubahan politik terhadap industrialisasi masih belum banyak berubah dibandingkan era sebelumnya. Arus investasi yang masuk dalam mengolah bahan baku hanya sebatas value added terhadap penerimaan pajak dan tenaga kerja. Selebihnnya nilai tambah dikuasai oleh Asing. Itu bisa mencapai 90 persen kembali ke asing. Betapa tidak. Anggaran riset kita hanya USD 2 miliar atau 0,2 persen dari PDB. Engga usah bandingkan dengan negara G20. Dengan Malasyia saja kita kalah. Malaysia sebesar 1,3 persen dari PDB. Singapore negara seupil saja anggarannya risetnya 2,2 persen dari PDB atau Rp10 miliar atau lima kali dari kita.
Waktu Jokowi mencanangkan bahwa Indonesia siap masuk 4G. Saya mengkritisi pentingnya negara menguasai infrastruktur IT. Tetapi yang digalakan adalah aplikasi. Unicorn dan datacorn digalakan. Didukung luar biasa. Padahal aplikasi itu memungkinkan orang membuka data pribadinya. Termasuk beragam program pemerintah harus via online seperti Lindung COVID dan lain lain. Tidak ada kekuatan infrastruktur negara mengawal privasi data pribadi itu. Pemerintah hanya membuat UU ITE.
Padahal dalam siber crime, UU ITE itu diketawain. UU ITE hanya menjangkau HOAX, tetapi hackers? justru dianggap remeh. Karena memang negara tidak peduli kalau data pribadi warganya di hack. Pejabat hanya berkata “kita akan buru dan penjarakan. Itu melanggar UU ITE” Tapi tidak ada by design untuk melindungi warga dari hackers.
“Jadi warga negara RI di era digital ini sebaiknya hati hati. Jangan terlalu percaya negara akan melindungi anda. Lah melindungi diri sendiri aja dari hackers pemerintah engga bisa, apalagi mau lindungi warganya” kata teman.
[***]