MALAM itu, menjelang dini hari, di sebuah komplek perumahan mewah, tiga lelaki mengendap-endap. Gerak-gerik mereka mencurigakan. Pakaiannya dibuat seringkas mungkin supaya sigap bergerak. Yang lebih mencurigakan lagi, wajah mereka berbalut masker yang menutupi kepala hingga leher. Masing-masing mereka menenteng perlengkapan; linggis, obeng besar, dan golok.
‘Confirmed’, mereka adalah para pencuri. Sasarannya, gudang perbendaharaan milik warga, sebuah bangunan mewah di sudut jalan. Mereka nyaris saja berhasil menggasak sejumlah barang berharga. Bahkan, sebuah brankas berisi aneka perhiasan emas simpanan warga sudah dibopong.
Ya, aksi mereka tadi nyaris berhasil, kalau saja tidak ada seorang yang berteriak dan memukul-mukul kentongan. Komplek yang sebelumnya senyap pun jadi riuh. Warga yang tengah lelap dipeluk sejuknya kamar ber-ac, tersentak. Tak pelak lagi, kegaduhan pun tercipta.
Para pencoleng yang nyaris berhasil mengangkut harta secara tidak sah itu pun pontang-panting berusaha menyelamatkan diri. Namun karena gugup, mereka berkali-kali terjatuh berhumbalangan. Pakaian ringkasnya koyak di sana-sini. Dan, masker yang menutupi wajah dan kepala terlepas. Warga mengenali mereka.
Mestinya, warga dan petugas keamana berterima kasih kepada lelaki yang berteriak dan memukul-mukul kentongan. Harusnya, mereka semua berterima kasih kepada pria yang telah dituduh menimbulkan kegaduhan.
Tapi, ucapan terima kasih itu sepertinya batal terlontar. Pasalnya, para pencoleng yang ulah dan kedoknya terbuka tiba-tiba bermanuver. “Kalian, warga komplek, harus marah kepada lelaki pembuat gaduh. Karena ulah mereka, tidur nyenyak kalian terganggu. Karena ulah pria ini, anak-anak kalian terbangun dan menangis di malam buta. Jadi, marahlah kalian kepada lelaki ini,†ujar seorang pencoleng.
“Imbauan†serupa juga dikumandangkan pencuri lainnya. Lalu, perampok ketiga pun menebarkan ajakan sama. Maka, jadilah warga yang seharusnya berterima kasih, justru mulai menggerundel kepada pria pemukul kentongan. Sebagian lain malah sudah mulai menumpahkan kekesalannya.
Drama ironis dan tragis ini ternyata belum berakhir. Bersama konco-konconya dan dengan jaringan medianya, para pencoleng tadi gencar menabur opini. Bahwa telah terjadi kegaduhan luar biasa akibat ulah seorang lelaki. Dengan bumbu ini-itu, opini sesat dan menyesatkan pun menyeruak ke mana-mana. Menyembul dan menyelip ke setiap sudut dan lini aktivitas warga. Lelaki pembuat kegaduhan jadi obrolan sedap di warung-warung kopi dan tempat-tempat berkumpul lain.
Entah dengan motivasi apa, suara-suara kekesalan kepada pria tadi makin santer dan makin banyak saja yang melantangkan. Belakangan stigma baru kepada lelaki itu disematkan. Dia dianggap menyalahi prosedur dan wewenang tupoksi alias tugas pokok fungsinya. Berikutnya desakan agar sang bos memecat si pemukul kentongan pun mulai berhamburan.
Sibuk soal kulit, abaikan isi
Saudara, sepertinya kisah ‘bodoh’ di atas tidak mungkin terjadi. Bagaimana mungkin orang yang sudah berjasa menyelamatkan harta dan kewibawaan bersama malah ramai-ramai di-bully. Bukankah seharusnya pria tersebut bersimbah terima kasih? Ironisnya, para pem-bully itu justru mereka yang baru saja diselamatkan.
Bangsa ini memang lucu. Sibuk mempersoalkan kulit dan mengabaikan isi. Ketika Menteri Koordintor Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli berteriak tentang beberapa hal untuk menyelamatkan negeri, sebagian pihak justru menyalahkannya. Mereka sibuk perkara etika yang, konon, dilanggar dan mengabaikan fakta. Dalihnya, monggo debat dan kisruh asal dilakukan di dalam, di ruang-ruang rapat. Boleh beda pendapat tapi di dalam, tidak boleh ke luar.
Orang-orang ini juga antusias mempersoalkan prosedur ketimbang substansi. Bahkan, mereka mulai menyoal nomenklatur kementerian yang dipimpin Rizal Ramli (RR). Maklum, begitu dilantik, dia mengganti nama kementeriannya dari Kemenko bidang Maritim menjadi Kemenko Maritim dan Sumber Daya.
“Pokoknya tidak ada perubahan sampai sekarang. Tetap Menko Maritim. Titik. Ndak ada itu sumber daya,” sergah Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang akrab disapa JK, di kantornya, Kamis (3/3).
JK memang termasuk orang yang berdiri di garda paling depan dalam mem-bully Rizal Ramli. Dia bukan baru kali ini berbunyi. Jauh sebelumnya saudagar dari Indonesia Timur ini juga sudah bernada sama. Dengan mudah kita dapat mencatat, dia termasuk yang berteriak paling kencang merasa ‘memarahi’ Rizal Ramli dalam hal gaduh pembangunan pembangkit listrik 35.000 MW dan perpanjangan rencana kontrak karya PT Freeport Indonesia.
Padahal, kalau saja RR tidak menggelar jurus rajawali kepret terkait soal-soal ini, para ‘pencoleng’ sudah berpesta-pora menikmati hasil jarahan. Jurus inilah yang telah berhasil menggebah tikus-tikus keluar dari lobangnya, sebelum mereka menggasak habis padi-padi di sawah yang segera dipanen.
Keberadaan JK ini pula yang sepertinya menjadi vitamin bagi Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said ngotot membela pembangunan kilang di laut. Karena JK pula, dia merasa lebih berotot untuk berhadapan dengan atasannya, Rizal Ramli.
Manipulasi data
Pada babak pertama, kegaduhan diisi masalah substansi. Simpang siur pemberitaan (baca; penggiringan opini) makin riuh, karena angka-angka yang disodorkan mereka yang bertikai bertolak belakang. Masing-masing mengklaim lebih murah dibanding seterunya. Untuk memenangkan opini publik, ada yang tidak segan-segan mamanipulasi data, mengecil-ngecilkan biaya miliknya dan membesar-besarkan harga lawannya.
Babak berikutnya, masih soal substansi. Tapi kali ini sedikit bergeser ke soal-soal teknis. Antara lain, menyangkut horor yang ditebarkan para pembela kilang apung; bahwa kalau dibangun di darat maka pipa bawah laut akan menemukan palung yang dalam. Horor lain, penyaluran gas via pipa akan terkendala kandungan wax alias lilin yang ada. Masih ada lagi, pemasangan pipa bawah laut akan rawan, karena di Masela-Pulau Selaru dan kawasan sekitarnya rawan gempa. Belum lagi arus bawah lautnya deras sekali sehingga bisa memporak-porandakan jaringan pipa di bawahnya.
Namun Rizal Ramli dan timnya berhasil membuktikan Seluruh argumen teknis itu mengada-ada. Semuanya bermuara pada tujuan, pokoknya jangan sampai di bangun kilang di darat. Itulah sebabnya mereka tidak segan-segan mendesak Presiden Joko Widodo, agar segera mengesahkan pembangunan kilang di laut. Alasannya, kalau ditunda-tunda, apalagi jika diputuskan di darat, maka Inpex dan Shell selaku operator dan kontraktor bakal hengkang.
Sungguh upaya yang teramat menyedihkan. Menakut-nakuti Presiden dengan argumen superngawur dan tidak masuk akal. Lha wong Inpex/Shell sudah menghabiskan waktu sejak 1998 untuk mengeksplorasinya. Untuk keperluan tersebut, mereka juga sudah menggelontorkan fulus lumayan banyak, sekitar US$2 miliar. Mana mungkin mereka bakal angkat koper setelah menemukan harta karun berupa gas dengan cadangan sekitar 70 tahun di Masela?
Kasihan rakyat Indonesia. Mereka dipaksa menonton kisruh rencana pengembangan Blok Masela yang sama sekali di luar jangkauan pemahaman mayoritas kita. Apalagi perkara pilihan pembangunan kilang darat (onshore) versus kilang apung di laut (ofshore) terkait blok gas abadi itu. Yang rakyat tahu, khususnya penduduk Maluku dan sekitarnya, kesejahteraan mereka bakal ikut terkatrol kalau pemerintah memutuskan pembangunan kilang di darat.
Kalau kilang dibangun di laut, maka gas dari Masela hanya diangkut ke luar negeri. Pemerintah akan menerima sekitar US$2,5 miliar/tahun. Penduduk Maluku dan sekitarnya
cuma jadi penontot sambil gigit jari.
Sebaliknya, jika kilang dibangun di darat mereka dapat ikut menikmati berkah dari Allah Yang Maha Pemurah kepada bangsa ini. Paling tidak, akan ada banyak multiplier effect buat mereka. Antara lain penyerapan tenaga kerja, penyerapan tingkat kandungan lokal, transfer teknologi, maupun pembangunan industri petrokimia dan lainnya. Negara pun bakal meraup sekitar US$6,5 miliar/tahun.
Nah, para pengusung kilang laut itu telah kehabisan peluru untuk menembak Rizal Ramli. Mereka sudah babak belur dan knock out dalam debat di ranah substantif. Itulah sebabnya arena pertandingan digeser ke area lain, pindah dari isi ke kulit. Dengan dana yang berlimpah dikombinasi jaringan media yang dianggap telah mapan, mereka menyesaki benak publik dengan remeh-temeh. Materinya berpusar pada etika debat anggota kabinet yang menimbulkan kegaduhan dan nomenklatur kementerian.
Buat perkara gaduh, awal tulisan ini sudah mencoba menjelaskan. Bahwa, kalau tidak dibuat gaduh, para pencoleng akan menggasak harta negara. Itulah sebabnya RR menyebut gaduhnya adalah gaduh putih. Sedangkan pertikaian antargeng pemburu rente karena tidak ratanya pembagian, disebut sebagai gaduh hitam.
Sedangkan soal nomenklatur, sejak awal RR sudah melaporkan kepada Presiden. Bahkan perkara ini telah selesai (disepakati) keduanya saat Jokowi menyodorkan jabatan Menko Maritim kepada Rizal Ramli beberapa jam sebelum pengumuman reshuffle kabinet 12 Agustus 2015 silam.
Perkara Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Yudhi Crisnandi tak kunjung memproses perubahan nomenklatur, silakan tanya kepada yang bersangkutan. Pastinya, Rizal Ramli menjelaskan, Jokowi sudah setuju sejak awal. Dia bahkan sudah memerintahkan Mensekab Pramono Anung untuk mulai menyelesakan soal ini sejak kali pertama.
Kalian membela siapa?
Buat JK, Sudirman Said, dan konco-konconya, mbok yao kalian itu kasihan kepada rakyat Indonesia. Siapa, sih, sebenarnya yang kalian bela dengan mati-matian menghendaki kilang apung? Jika kalian selama ini mempersoalkan Rizal Ramli yang membuat gaduh dan menggonta-ganti nomenklatur kementerian, kenapa kalian tidak mematuhi Presiden? Bukankah dalam rapat-rapat kabinet, Jokowi memberi arahan agar pemanfaatan gas bumi tidak hanya dijadikan sumber pemasukan dalam bentuk devisa? Gas juga harus dilihat sebagai sarana penggerak ekonomi, baik secara nasional maupun, terutama di daerah sekitar lokasi ladang gas.
Kalau dibahasasedernakan, arahan Presiden itu artinya membangun kilang di darat. Bagaimana mungkin bicara tentang multiplier effect, tentang percepatan pembangunan ekonomi rakyat Maluku dan sekitarnya, kalau membangun kilang di laut? Bagaimana bicara tentang pabrik petrokimia, tentang penyerapan tenaga kerja, tentang tingginya kandungan lokal, dan transfer teknologi kalau yang dibangun adalah kilang apung di laut?
Mosok untuk hal sesederhana ini JK, Sudirman Said dan gengnya gagal paham? Hanya dua kemungkinan untuk menjelaskan kedegilan kelompok ini. Pertama, IQ mereka memang di bawah standar sehingga tidak paham arahan presiden. Kedua, mereka sengaja melawan perintah Presiden. Kalau kemungkinan kedua yang terjadi, pertanyaan berikutnya, kenapa? Jangan-jangan sudah menerima uang muka dari pihak-pihak yang berkepentingan dengan hadirnya kilang laut. Nah, loh… (*)
Oleh Engkus Munarman, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Energi dan Lingkungan (PKEL)