UNTUK kesekian kalinya urat nadi negeri ini dikoyak oleh para pembobol dana BUMN. Kini giliran Jiwasraya yang menjadi sasaran dengan kerugian Rp13,7 triliun. Menurut perkiraan jumlah tersebut bisa jauh lebih besar lagi, bisa mencapai 30 triliun.
Seperti puncak dari gunung es, sudah dapat dipastikan BUMN lainnya juga dijarah. Tinggal tunggu waktunya saja untuk diumumkan.
Masih segar dalam ingatan kita betapa kasus BLBI yang merugikan negara sebesar Rp660 triliun, Bank Century Rp6,7 triliun, dan bank lainnya yang merugikan negara ratusan triliun, bagai gempa vulkanik yang mengguncang negeri ini.
Heboh sebentar. Kemudian menguap begitu saja. Tidak ada tindak lanjut sampai benar-benar tuntas. Gunnar Myrdal memasukkan Indonesia sebagai salah satu soft state, negara lembek, di samping Pakistan, Bangladesh dan negara-negara Afrika lainnya.
Kasus terkini adalah penjarahan dana nasabah Jiwasraya yang telah menelan korban sebanyak 17.000 nasabah, diantaranya 469 warga negara Korea Selatan. Mereka bahkan telah menemui Komisi VI DPR RI, mengadu ke Menteri BUMN dan bahkan menyampaikan masalahnya ke Pemerintah Korea Selatan.
Hasilnya nihil. Tidak ada tindak lanjut dari lembaga negara mengenai kasus ini. Berbagai pihak terkait saling tuding dan cuci tangan.
Bahkan dengan santai dan tenangnya mantan direktur keuangan Jiwasraya mencoba membela diri dengan argumentasi yang mutar-mutar tidak masuk akal dan banyak yang ditutupi. Selanjutnya menjanjikan BUMN tersebut baru akan pulih tahun 2027 nanti. Jadi masih harus perlu suntikan dana triliun dari Negara.
Publik sudah terlalu banyak dibodohi, ditipu habis oleh kawanan pembobol dana Jiwasraya. Inilah salah satu sumber puncak kejahatan di negara ini. Yang akhirnya membentuk kejahatan yang lebih luas. Johann Galtung menyebutnya sebagai structure of violence, kekerasan struktural.
Tidak pernah terdengar ada yang berbicara dan membeberkan dampak terhadap seluruh sendi kehidupan bangsa, akibat dari perbuatan mengoyak urat nadi aliran darah negara ini.
Setiap kasus diisolir, hanya menjadi kasus pembobolan semata. Itupun selalu menemui jalan buntu. Akibatnya, selalu terjadi kejahatan keuangan yang sama, dengan aktor lama maupun baru.
Melibatkan birokrat, politisi, lembaga keuangan negara, pengusaha, lembaga “penegak” hukum dan seterusnya, dengan jumlahnya dana yang semakin besar. Mereka bagai menari di atas vulkan.
Salah satu ciri negara yang bisa mencapai tingkat kemajuan ekonomi adalah negara yang mampu membasmi kejahatan keuangan, membasmi korupsi. Lihat Cina yang telah menerapkan hukuman mati terhadap koruptor. Kores Selatan yang menghukum mantan presidennya yang korup selama lima belas tahun.
Karena dana yang dijarah tersebut menguap tidak berbekas atau diparkir diluar negeri, maka negara harus menggantikan dana nasabah. Caranya, dana dari APBN (Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara).
Dari mana penerimaan Negara berasal?. Salah satunya dari penerimaan pajak, yang jumlahnya Rp1.500 triliun lebih pada 2019. Sebagian besar dari pajak yang ditarik dari masyarakat seperti pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, pajak bumi dan bangunan, pajak bahan bakar, cukai tokok, pajak kendaraan bermotor, dan sebagainya. Ditambah utang luar negeri dan penjualan obligasi, surat utang negara.
Jika anggaran penerimaan lebih kecil dari anggaran belanja, terjadi defisit anggaran. Cara menutupnya, menambah utang luar negeri, menjual lebih banyak obligasi (SUN) dan menambah penerimaan dari berbagai peningkatan pajak, kenaikan tarif listrik, kenaikan tarif PAM, kenaikan tarif jalan tol, kenaikan cukai rokok, kenaikan iuran BPJS dan seterusnya.
Berbagai kenaikan tersebut berdampak pada berkurangnya penghasilan dan berkurangnya daya beli masyarakat, under consumption. Selanjutnya kenaikan harga-harga mendorong kenaikan inflasi dan semakin berkurang pula daya beli masyarakat. Angka gini koefisien semakin membesar.
Harga-harga kebutuhan pokok akan semakin meningkat. Sementara lapisan menengah juga menjerit dengan semakin berkurangnya penghasilan dan daya beli mereka. Kehidupan mereka semakin terancam. Berkurangnya daya beli mereka akan mendorong penurunan permintaan akan produk-produk kebutuhan dasar.
Efek berantai selanjutnya adalah berkurangnya penjualan perusahaan. Akan terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK), pengangguran massal pun terjadi. Krisis ekonomi menanti di pintu gerbang menuju letusan vulkanologi. Para penjarah siap-siap melarikan diri dan menyelamatkan dana hasil jarahannya ke luar negeri. Chaos, mengatasinya dengan kekerasan pula. Spiral kekerasan meningkat.
Itukah yang diinginkan kita semua?. Sadarkah para elit kekuasaan politik? Apa yang akan terjadi, jika kita tidak tegas menegakkan hukum?
Dari keperihatinan mendalam dan kecintaan kami pada bangsa dan negara ini, kami menuntut kepada berbagai pihak terkait, seperti DPR, Menhukam, Kementrian BUMN, Kemenkeu, OJK, Kejaksaan Agung, Kepolisian, seluruh elemen masyarakat, untuk bahu-membahu menghentikan sumber kehancuran negara ini.
Oleh Jaringan Aktivis Pro Demokrasi Bogor, Sunandar