KedaiPena.Com – Setelah Veteran Komisi Konstitusi Prof. Dr. Tjipta Lesmana, Prof. Dr. Maria Farida Indrati dan Dr. Laode Ida dilanjutkan Generasi Muda Anton Permana cs bicara dalam Webinar Gerakan Kebangkitan Indonesia (GKI), belum lama ini, tak ketinggalan senior pejuang ikut bicara.
Apa kata mereka? Berikut intisari pembahasan tersebut yang disarikan oleh Mayjen TNI (Purn) Prijanto, Aster KSAD 2006-2007 sekaligus penggiat Rumah Kebangkitan Indonesia.
Baca juga: Membedah dan Memetik Buah Amandemen UUD 45
Irjen Pol (Purn) Taufiequrachman Ruky, Mantan Ketua KPK.
Untuk mengetahui situasi MPR waktu amandemen, sebelum Webinar, moderator minta gambaran kepada Irjen Pol (Purn) Taufiequrachman Ruky, yang ketika itu anggota MPR. Tersiar kabar bahwa perubahan pasal-pasal itu tidak didukung dokumen kajian dan tahapan sosialisasi.
Benarkah?
Irjen Pol Ruky memberikan penjelasan, ketika perubahan pertama, dirinya masih anggota BP MPR RI. Secara diplomatis menjawab, seingat saya tidak ada seminar atau diskusi ilmiah untuk membahas dan mengkaji pasal yang diubah dengan pendekatan keilmuan. Apalagi pendekatan dengan ideologi Pancasila.
Justru pada perubahan pertama, sudah muncul keinginan mengubah Pasal 29, dengan menambah tujuh kata. Dari titik inilah amandemen “liar” bermunculan, termasuk perubahan Pasal 6, Pasal 33 dan peniadaan DPA.
Situasi pada perubahan pertama sudah nampak, adanya perbedaan pandang golongan nasionalis dengan golongan Islam. Golkar sepertinya tidak punya pegangan dan Fraksi ABRI membeku. Perubahan berikutnya tidak tahu persis, karena tahun 2000 sudah ke Polkam, kata Ruky menutup penjelasannya.
Penjelasan Irjen Pol Taufiqurachman Ruky, dikuatkan pengakuan Dr. J. Sahetapy yang videonya viral di medsos. Dengan bangganya Sahetapy mengatakan dia satu-satunya orang yang usul dihilangkannya syarat Presiden orang Indonesia asli. Pertanyaanya, adakah kajiannya?
Letjen TNI (Purn) Sayidiman Suryohadiprojo, Lulusan Akademi Militer Yogyakarta 1948.
Sebagai lulusan terbaik Akademi Militer Yogya, di usia 93 tahun, pengabdian Letjen Sayidiman kepada negara tiada putus. Pengalaman sebagai Wakasad, Gebernur Lemhannas, Dubes di Jepang dan Dubes Keliling untuk Wilayah Afrika, jelas memberikan ketajaman pengamatan atas situasi yang berkembang saat ini.
Dikatakannya, ada indikasi campur tangan asing dalam amandemen UUD 1945, yakni National Democratic Institute (NDI). Sinyalemen ini seperti di artikel “Ada Campur Tangan Asing Dalam Amandemen UUD 1945”.
Jenderal Sayidiman memberikan dorongan, agar Indonesia di usia 100 tahun bisa menjadi negara yang kuat, maju, adil dan makmur, diperlukan sikap dan sifat kepemimpinan bangsa Indonesia yang jujur dan tidak menjadi pengkhianat.
Terkait konstitusi, juga tidak kalah penting. Diperlukan Kaji Ulang terhadap UUD 2002. Apabila hasil Kaji Ulang ternyata UUD 2002 membuahkan pecahnya persatuan Indonesia dan pemiskinan rakyatnya, maka perlu kita Kembali ke UUD 1945.
Selanjutnya, dalam menyongsong masa depan jika perlu penyempurnaan UUD 1945, harus dilakukan secara adendum, kata Jenderal Sayidiman di akhir pendapatnya.
Baca juga: Generasi Penerus Bicara Soal Buah Amandemen UUD 45
Prof. Dr. Sofian Effendi, Ketua Forum Rektor Indonesia 2006-2007, Ketua Komisi ASN.
Di awal pembicaraan, Prof. Sofian menunjukkan buku yang ditulis Prof. Donald D. Horowitz: “Constitutional Change and Democracy in Indonesia”. Dikatakannya, dalam buku itu menunjukkan betapa besar keterlibatan National Democratic Institute (NDI) dalam proses amandemen atau lebih pasnya penggantian UUD 1945.
NDI menyusun pasal-pasal perubahan UUD 1945, yang diserahkan Panitia ad Hoc MPR yang bertugas menyusun Undang-undang Dasar. NDI mendapat tempat di Sekretariat MPR dan mendapat kucuran dana dari pemerintah Amerika melalui Secretary of State America, Madeleine Albright, tutur Prof. Sofian.
Dalam penelusurannya di surat kabar New York Times, tahun 1998, Prof Sofian menemui lima artikel yang menguatkan isi buku Donald Horowitz. Artinya, keterlibatan NDI menjatuhkan Presiden Soeharto dan mengganti sistem pemerintahan Indonesia, isi buku Horowitz dan lima artikel di New York Times, tahun 1998, sebagai bukti empirisnya.
Pembukaan UUD 1945 berisi ‘philosphische grondslag’ tidak diubah. Pertanyaan kritisnya, apakah pasal-pasal perubahan sesuai dengan nilai-nilai ‘philosopische grondslag’, Pancasila? Kalau sudah menyimpang jauh dari ruhnya, maka UUD 2002 tidak layak disebut UUD 1945.
Apabila saat ini sistem pemerintahan dan sistem ekonomi kacau, itu semua akibat UUD 2002. Artinya, tujuan mereka atau asing mengganti sistem pemerintahan Indonesia berhasil, kata Prof. Sofian menutup pembicaraannya.
Dubes Nurrachman Oerip, Duta Besar RI untuk Kerajaan Kamboja (2004-2007)
Melihat jabatannya, Dubes Nurrachman tidak bisa lepas urusan luar negeri. Sebelum Dubes di Kamboja, Kepala Bidang Politik Perutusan RI untuk Masyarakat Eropa dan Wakil Kepala Perwakilan RI di Rusia. Karena itulah, melihat proses amandemen UUD 1945, juga tidak lepas dari perspektif hubungan internasional.
Tumbangnya Orde Lama, mengandaskan konsep Tri Sakti Bung Karno. Ambruknya Orde Baru, telah merombak “sistem sendiri pemerintahan Indonesia” melalui amandemen UUD 1945. Menurut Nurrachman, dalam upaya mencapai tujuan nasional, UUD 2002 lebih banyak mudharatnya dari pada manfaatnya, dan itu semua tidak lepas dari pertarungan kepentingan politik global.
Dubes Nurrahman mencermati isi buku Donald D. Horowitz: “Constitutional Change and Democracy in Indonesia” terbitan Cambridge University Press, 2013. Dikatakannya ada indikasi intervensi kekuatan asing, yakni LSM Amerika, National Democratic Institute (NDI), berkolaborasi dengan LSM lokal dalam amandemen UUD 1945.
Keikutcampuran asing dalam amandemen UUD 1945 dikuatkan artikel Tim Weiner pada surat kabar “New York Times, 20 Mei 1998” : “Unrest in Indonesia : The Opposition; U.S. Has Spent $ 26 Million since ’95 on Soeharto Oppenents”. Dalam artikel ini tampak keterlibatan United State Agency for International Development (USAID), kata Nurrachman menutup pendapatnya.
Menyimak artikel seri-1, seri-2 dan seri-3 ini, dapat ditarik kesimpulan : (1) Pasal-pasal perubahan UUD 1945 tidak koheren dengan nilai-nilai falsafah bangsa, Pancasila. (2) Buah amandemen tidak terasa manis; UUD 2002 banyak mudharatnya dari pada manfaatnya. (3) Ada indikasi kuat keterlibatan asing, berkolaborasi dengan LSM lokal.
Prijanto sebagai moderator, menutup dengan menyampaikan pendapat : “Undang Undang Dasar yang buruk, jauh dari nilai-nilai falsafah bangsanya, akan menghancurkan bangsa dan negaranya”.
Laporan: Muhammad Lutfi