KedaiPena.Com – Cagar Alam Kamojang dan Papandayan di Jawa Barat tengah menjadi sorotan setelah mencuatnya kabar alih status. Sebelumnya kawasan ini berstatus cagar alam, namun kemudian diturunkan menjadi taman wisata alam.
Penurunan status itu dituangkan dalam Surat Keputusan Menteri Nomor SK.25/MENLHK/SETJEN/PLA.2/1/2018 tertanggal 10 Januari 2018.
Tertulis dalam surat keputusan tersebut, mengubah fungsi dalam fungsi pokok kawasan hutan dari sebagian kawasan Cagar Alam Kawah Kamojang seluas 2.391 hektare dan Cagar Alam Gunung Papandayan seluas 1.991 hektare menjadi Taman Wisata Alam, terletak di Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat.
Meskipun demikian, belum ada sosialisasi kepada publik terkait dengan surat keputusan tersebut.
Diduga keputusan KLHK menurunkan status wilayah hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum merupakan upaya melegalkan aktivitas pemanfaatan panas bumi.
Hal itu mengingat penurunan status kawasan Cagar Alam Kamojang dan Papandayan menjadi taman wisata alam memang telah menjadi salah satu evaluasi yang dilakukan pemerintah sejak 2012 untuk mengakomodasi kegiatan pemanfaatan panas bumi tersebut.
Kerusakan pada kawasan tersebut sebelumnya sudah terjadi. Hal itu lantaran kawasan tersebut digunakan untuk jalur motor trail dan mengikis lahan yang seharusnya terlindungi. Belum lagi karena perburuan, pendakian, hingga perambahan hutan juga berlangsung.
Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Wiratno membantah dugaan tersebut.
Menurutnya, perubahan status cagar alam masih dalam koridor konservasi dan tidak seperti yang difikirkan orang banyak.
Tidak hanya itu, kata Wiratno, keberadaan pemanfaatan panas bumi atau ‘geothermal’ sendiri sudah ada di kawasan cagar alam Kamojang sejak tahun 1974. Wiratno menambahkan keberadaan ‘geothermal’ sudah ada sebelum ditetapkanya kawasan cagar alam Kamojang.
“Pemanfaatan ‘geothermal’ itu kan dari tahun 1974 yang merupakan tenaga listrik yang bersih. Itu kan tidak di ketahui banyak pihak. ‘Geothermal’ itu kita ditekankan karena dulu aturanya boleh,” ujar dia saat dihubungi oleh KedaiPena.Com, Sabtu (25/1/2019).
Dia pun meminta agar tidak ada yang berpolemik soal hal tersebut. Menurutnya, semua hal harus dapat dilihat secara historis. Bahkan dalam penyelesaian masalahnya, KLHK siap membuka diri untuk menerima dan menjelaskan kepada pihak yang mengkritik dan belum memahami secara gamblang persoalan di kawasan cagar alam Kamojang.
“Oleh karena itu saya minta BKSDA Jabar menemui para pihak tersebut dan menjelaskan kebijakan-kebijakan mengapa terjadi evaluasi fungsi sebagian dari cagar alam itu. Tapi yang pasti hutannya itu masih bagus dan masih kita jaga,” papar dia.
Sementara itu, penggiat lingkungan Muhammad Setia Permana mengatakan bahwa, merujuk Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem, sudah jelas cagar alam adalah status terketat.
Tujuannya tidak lain untuk menjaga keutuhan kawasan dengan ekosistem yang terjadi di dalamnya.
“Kita tahu, hutan di Indonesia semakin hari semakin kritis, baik itu secara luas wilayah maupun kualitas. Prinsip dari konservasi apa sih kalau bukan untuk menjaga dan merawat yang ada, dan bahkan untuk menambah,” jelas Vijay, sapaannya, saat dihubungi KedaiPena.Com.
Kawasan cagar alam merupakan kawasan ketat, dimana aktivitas yang diperbolehkan adalah penelitian dan pengembangan, ilmu pengetahuan, pendidikan, dan kegiatan lainnya yang menunjang budidaya.
“Itu kata undang-undang. Namun, fakta di lapangan, hal itu (kerusakan) dibiarkan,” beber dia.
Setidaknya, Vijay menegaskan, elemen peduli lingkungan di Bandung Raya hampir selama enam tahun melakukan penyadartahuan ke khalayak ramai tentang kawasan cagar alam.
“Upaya ini seharusnya menjadi tugas lembaga yang menangani. Teman-teman selama ini melakukan upaya penyadartahuan ke khalayak ramai. Bahkan jika kegiatannya bersentuhan dengan wewenang pihak BBKSDA (selaku pemegang otoritas kawasan konservasi), kami selalu menempuhnya sesuai prosedur,” sambung dia.
Dia pun menambahkan bahwa pihaknya sudah sering mengajukan audiensi sebagai upaya mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi, sampai-sampai kawasan cagar alam dibiarkan rusak.
“Namun apa hasilnya nihil. Kerusakan terus terjadi. Pihak BBKSDA selaku pelaksana teknis Ditjen KSDAE tutup mata. Mereka tidak sadar dampak atas kerusakan yang terjadi selama ini. Ekosistem rusak, habitat rusak, satwa dilindungi entah ke mana rimbanya. Flora endemik entah bagaimana nasibnya. Lalu, bencana di sekitar kawasan terus terjadi, katakanlah dan longsor,” pungkas dia.
Laporan: Muhammad Hafidh