PUBLIK belakangan dibuat terheran-heran dengan adanya ‘konfrontasi’ antara dua orang menteri di dalam satu pemerintahan yang sama. Masalahnya, yakni persoalan Blok Masela. Kedua menteri yang ‘berkonfrontasi’ itu adalah Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Rizal Ramli dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said.
Pangkal masalahnya, apakah pengembangan Blok Masela menggunakan skema pengembangan pembangunan kilang gas alam cair di laut (Floating Liquefied Natural Gas/FLNG) atau membangun kilang gas alam cair di darat (Onshore Liquefied Natural Gas/OLNG).
Versi Rizal Ramli, skema yang terbaik untuk pengembangan Blok Masela adalah pembangunan kilang di darat. Alasannya, skema di darat lebih murah dibandingkan di laut. Rizal pun memberi contoh. Dia membandingkan proyek Blok Masela dengan proyek Prelude di Australia.
Proyek Prelude yang menggunakan skema di laut dengan kapasitas 3,6 juta ton per tahun (mtpa) menghabiskan biaya sebesar USD 3,5 miliar per mtpa. Mengacu hal tersebut, maka proyek Blok Masela di laut dengan kapasitas 7,5 mtpa bisa menghabiskan dana hingga USD 22 miliar.
Rizal lalu membandingkan jika proyek itu dibangun di darat, dengan mengambil proyek di Pulau Selaru yang lokasinya lebih dekat dengan Blok Masela. Investasi yang dibutuhkan hanya sekitar USD 16 miliar. Nilai ini sudah termasuk biaya pembangunan jalur pipa ke darat sepanjang 90 kilometer dari blok tersebut.
Poten berpengalaman lebih dari 75 tahun sebagai tim broker dan konsultan komersial dengan spesialisasi dalam energi dan industri transportasi laut.
Alasan lain kenapa Rizal memilih skema di darat adalah, karena proyek ini bisa memberikan manfaat pengembangan perekonomian di wilayah sekitar. Misalnya, membuka lapangan kerja bagi penduduk lokal, menumbuhkan industri hilir seperti industri pupuk, petrokimia, serta pemanfaatan gas untuk bahan bakar.
Rizal juga mengungkapkan, bila menggunakan skema di laut, maka proyek ini hanya berkontribusi kandungan lokal yang tidak lebih dari 10 persen dari total nilai investasi. Itu sudah termasuk bahan baku, teknologi, juga sumber daya manusia (SDM).
Versi Sudirman Said, skema yang layak untuk pengembangan Blok Masela adalah di laut. Argumentasinya, telah dilakukan kajian oleh konsultan independen Poten and Partner dan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas).
Sekedar informasi, Kementerian ESDM membayar kepada Poten and Partners sebesar Rp 3,8 miliar untuk melakukan kajian tersebut dengan masa kerjanya adalah 45 hari. Lucunya, pembayaran itu dibebankan kepada SKK Migas. Poten aktif melakukan kajian terhitung 11 November 2015 hingga 25 Desember 2015.
Poten dipilih menjadi konsultan Kementerian ESDM setelah ‘menyingkirkan’ enam konsultan lainnya dalam proses beauty contest yang digelar kementerian tersebut. Keenam konsultan yang berhasil digusur Poten adalah, Fluor Corporation, Bechtel, IHS Inc, Wood Mackenzie, AT Kearney, dan Deloitte Advisory. Kementerian ESDM memilih Poten karena setelah proses seleksi dilakukan, Poten menawarkan harga terendah.
Pengembangan Blok Masela dengan skema hulu itu sudah disampaikan Inpex ke BP Migas dalam rencana pengembangan (POD) pada 27 Mei 2008. Namun, BP Migas kala itu masih meminta agar Inpex juga mengkaji pengembangan Masela dengan pola hilir.
Pertanyaannya, apakah soal harga yang kemudian menjadi faktor utama dipilihnya konsultan? Jika ditilik latarbelakang Poten, perusahaan ini memang spesialisasi dalam hal transportasi laut. Situs resmi Poten, Poten.com, mengungkapkan, Poten berpengalaman lebih dari 75 tahun sebagai tim broker dan konsultan komersial dengan spesialisasi dalam energi dan industri transportasi laut.
Secara kasat mata, jika orang awam menilai, mahfum saja jika Poten merekomendasikan pengembangan Blok Masela di laut. Karena perusahaan ini memang mayoritas mengerjakan berbagai proyek yang berhubungan dengan laut.
Poten memiliki kantor di tujuh kota di seluruh dunia, yakni di Athena, Guangzhou, Houston, London, New York, Perth dan Singapura. Poten saat ini dipimpin oleh Michael D Tusiani yang menjabat sebagai chairman. Tusiani duduk sebagai chairman di Poten sejak 1983, berarti sudah 33 tahun dia didapuk menjadi orang nomor satu di Poten.
Sebelumnya, dalam kurun 1970-1973, Tusiani bekerja di perusahaan pelayaran Anglo-nordic yang berlokasi di New York, Amerika Serikat. Tusiani merupakan lulusan dari Long Island University dan Fordham University, New York. Pada 1970 dia meraih gelar PhD di bidang ekonomi.
Kembali ke Blok Masela. Pada 29 Desember 2015, ketika digelar rapat terbatas kabinet, Presiden Joko Widodo meminta agar Sudirman Said mengkaji ulang proyek pengembangan Blok Masela di laut. Kepala Negara berkeinginan proyek Blok Masela memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat sekitar.
Permintaan Presiden itu lalu disambut Sudirman Said dengan membentuk tim yang terdiri dari Kementerian ESDM, SKK Migas dan beberapa perguruan tinggi untuk mengkaji kembali mengenai skema pengembangan yang tepat. Bahkan, Sudirman meminta SKK Migas dan kementeriannya membuka kantor sementara di Ambon.
Oleh Heriyono Nayottama, owner Tabloid Eksplorasi