KedaiPena.Com – Pemimpin Redaksi KATTA, Ade Mulyana, menanggapi santai tudingan miring pengamat komunikasi politik Effendi Gazali terkait kegiatan redaksi yang hendak menyusun laporan tentang kasus bantuan sosial Covid-19 di Kementerian Sosial.
Tudingan miring disampaikan Effendi sesaat sebelum menjalani pemeriksaan sebagai saksi di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Kamis (25/3/2021) kemarin.
“Yang menarik, Pak Effendi sangat bersemangat membesarkan KATTA tetapi misalnya tidak menjawab pertanyaan media soal benar tidaknya menjadi pemilik kuota bansos Covid,” kata Ade Mulyana, Jumat (26/3/2021).
Ade mengatakan, ada banyak contoh kasus di Indonesia dimana seseorang yang namanya disebut atau diberitakan terkait kasus korupsi melakukan serangan balik diantaranya membuat laporan dengan tuduhan pencemaran nama baik dan tuduhan lainnya.
“Sebagai pakar komunikasi, Pak Effendi tentu paham betul harus melakukan apa agar materi pemeriksaan di kasus bansos tidak menjadi perhatian media dan publik,” imbuh Ade.
Ade membenarkan ada tim redaksi KATTA yang melakukan komunikasi melalui pesan Whatsapp dan wawancara tatap muka dengan Effendi. Langkah ini ditempuh dalam rangka konfirmasi sekaligus klarifikasi untuk penyusunan laporan berita terkait dugaan keterlibatan Effendi dalam kasus bansos Covid.
Hal yang dikonfirmasi kepada Effendi antara lain terkait informasi sebagai pemilik kuota paket pengadaan sembako pada gelombang pertama dan delapan dari 12 gelombang pengadaan.
Pada gelombang pertama tertulis nama Effendi Gazali (Pengamat Politik) sebagai pemilik 162.250 paket bansos dengan nilai kontrak senilai Rp48.75 miliar. Sementara pada pengadaan gelombang delapan, nama Effendi Gazali tertulis sebagai pemilik 20 ribu kuota.
Pengadaan sembako total 164.255 paket atas nama Effendi kemudian dikerjakan oleh vendor yang sama, yakni CV berinisial HBN.
“Ada banyak informasi lain yang juga perlu dikonfirmasi kepada Pak Effendi sebagai bagian dari kerja-kerja jurnalistik. Perlu saya sampaikan bahwa redaksi sangat kaget dengan informasi nama Pak Effendi muncul sebagai pemilik kuota bansos, apalagi sebelumnya Pak Effendi juga pernah diperiksa sebagai saksi di kasus suap benur di Kementerian Kelautan dan Perikanan.”
“Kami percaya betul Pak Effendi tidak terlibat, dan karenanya KATTA menyediakan ruang kepada Pak Effendi untuk menyampaikan jawaban,” tutur Ade.
Dituturkannya, permintaan konfirmasi awalnya dilakukan melalui pesan Whatsapp pada 16 Maret 2021 seperti disampaikan Effendi. Langkah ini ditempuh dengan pertimbangan saat ini tengah pandemi Covid-19. Meski begitu, Effendi tidak mengijinkan semua jawabannya dikutip dalam berita.
Effendi berkenan untuk diberitakan jika redaksi melakukan wawancara tatap muka. Effendi menawarkan untuk bertemu di kantor redaksi atau di Taman Mini Indonesia Indah (TMII), dimana Effendi sendiri menghendaki tatap muka dilakukan di TMII dengan menyebut banyak tempat santai untuk mengobrol.
Redaksi memenuhi ajakan Effendi bertemu di Taman Kebudayaan Tionghoa, TMII, pada tanggal 17 Maret 2021. Tetapi Effendi kembali melarang redaksi untuk merekam pembicaraan dan mengabadikan pertemuan. Selain itu, Effendi juga meminta seluruh pembicaraannya tidak dijadikan berita.
“Tapi foto wartawan KATTA yang bertemu Pak Effendi di Taman Kebudayaan Tionghoa menyebar. Saya pastikan foto yang juga ditunjukkan Pak Effendi sebelum menjalani pemeriksaan penyidik KPK itu diambil staf Effendi yang hadir dalam pertemuan. Kuat dugaan saya pertemuan sudah disetting untuk menjebak. Terbukti Pak Effendi mengakui merekam pembicaraan dalam pertemuan itu,” tutur Ade.
Salah satu pendiri Ikatan Wartawan Online (IWO) ini mengatakan, Effendi menyampaikan penekanan kepada wartawannya dengan membawa-bawa nama anggota Dewan Pers, pemimpin redaksi media online dan cetak, serta aktivis anti korupsi. Bahkan Effendi menyingung nama-nama komisioner KPK yang disebut sebagai kenalannya, serta mengaku memiliki BAP kasus bansos yang menurutnya didapat dari seseorang dari pimpinan KPK. Effendi juga meminta saran untuk mengurangi efek buruk pemberitaan bagi keluarga terutama anaknya.
“Tuduhan Pak Effendi seolah-olah ada permintaan sejumlah uang tidaklah benar. Kita punya semua chat Whatsapp Pak Effendi termasuk beberapa chat yang dia hapus. Soal isi pesan yang dihapus tidak perlu saya ungkap,” singgung Ade.
Terlepas dari tudingan pemerasan dan ancaman melaporkan jurnalis KATTA ke Dewan Pers, Ade Mulyana mengatakan pemeriksan oleh penyidik KPK membuktikan informasi yang pernah dikonfirmasi redaksi KATTA lebih dari sepekan lalu kepada Effendi terkait kasus bansos bukan mengada-ada.
Dia berharap Effendi yang juga pernah diperiksa KPK sebagai saksi kasus dugaan suap izin ekspor benur yang menjerat mantan Menteri KKP Edhy Prabowo jujur dan transparan menyampaikan terkait posisi dan perannya yang disebut sebagai pemilik kuota paket sembako.
“Masa iya pemeriksaan KPK tanpa didasari kesaksian para pihak yang terkait dengan perkara bansos seperti dikatakan Pak Effendi? Jadi saya kira, wajar saja bila Pak Effendi menempuh cara-cara setidaknya bagaimana nama Pak Effendi di kasus bansos tidak menjadi sorotan media dan publik,” imbuh Ade.
Terakhir, Ade berharap KPK mengusut tuntas kasus korupsi bansos Covid-19 termasuk segera menetapkan tersangka baru. Ditegaskannya, korupsi adalah musuh bersama yang menjadi penyebab rusaknya bangsa dan negara.
“Kami berharap tuduhan tak berdasar Pak Effendi Gazali terhadap KATTA tidak membuat fokus terhadap kasus dan penuntasan kasus korupsi Bansos Covid terabaikan. Termasuk membongkar terkait munculnya nama Pak Effendi yang disebut-sebut menjadi satu dari belasan nama pemilik kuota pengadaan paket sembako Covid,” demikian kata Ade Mulyana.
Versi Effendi Gazali
Sebelumnya, Effendi Gazali menulis artikel berjudul ‘Ini Harus Saya Tulis, Walau Dewa Bisa Dendam’. Berikut tulisan lengkap yang kemudian memunculkan sengketa.
Selasa, 16 Maret, saya menerima pesan WA. Dia mengaku sebagai wartawan Katta.id yang biasa meliput di KPK (belakangan dia berubah mengaku dari Majalah Aktual).
Isi WA-nya: Saya minta konfirmasi bahwa nama Bapak disebut dalam BAP (Berita Acara Pemeriksaan) Mateus Joko, tersangka kasus Bansos. Mendapat kuota 162250.
Saya meminta bukti dan ingin ketemu di kantor redaksi Katta.id. Dia menolak, minta ketemu di luar.
17 Maret, kami ketemu. Dia datang berdua. Mereka mengaku sudah 2 kali terlibat dalam Pansel (Panitia Seleksi) Pimpinan KPK. Dan sejak 2009, mereka menyediakan jasa bisa membuat orang yang dipanggil KPK tidak akan terkena bunga-bunga jurnalistik.
Lalu mereka memperlihatkan 2 halaman BAP. Ada foto BAP tersebut di bawah tulisan ini, halaman 5 dan 6. Karena pertemuan ini kami rekam, jelas sekali kalimatnya: dia mendapatkan dari penyidik, di dalam KPK.
Besoknya dia menulis WA lagi: Bayangkan jika ada berita seorang pakar komunikasi mendapat kuota puluhan miliar! Kemudian, Apa yang seharusnya Bapak lakukan untuk pencegahan?”
Maka saya segera mengadukannya secara lisan dalam pertemuan dengan Agus Sudibyo (anggota Dewan Pers), 19 Maret. Dan setelah mengumpulkan bahan lengkap, akan saya ajukan secara tertulis.
Rabu, 24 Maret malam, jam 19:41 saya menerima WA, dari KPK. Isinya memanggil saya sebagai “Saksi” untuk keesokan hari jam 14:00 WIB. Tapi surat panggilan secara fisik belum pernah datang sampai saya berangkat ke KPK.
Lebih unik lagi, pada keesokan paginya, beredarlah di media sosial, potongan BAP yang diperlihatkan oleh oknum wartawan Wahyu tersebut. Beberapa wartawan bertanya ke WA saya: “Bapak datang nanti jam 14 di KPK?”
“Bapak benar punya kuota bansos 162250? Bapak kenal PT (macam-macam)?”
Wow what a coincidence, rangkaian kejadiannya mulus sekali.
Jam 13:45 Kamis siang itu, saya datang ke KPK. Di halaman KPK, saya ceritakanlah kepada para jurnalis, soal ancaman dan percobaan pemerasan terhadap saya oleh oknum wartawan yang memperlihatkan BAP Penyidik. Ternyata tidak banyak media yang memuatnya.
Dewanya Kapan Diperiksa?
Singkatnya kemudian, saya naik diperiksa KPK. Pemeriksanya anak muda, cerdas dan fokus. Dia mengonfirmasi bahwa nama saya tidak pernah ada pada BAP Mateus Joko sebelumnya. KPK punya nama semua PT vendor dan berapa angka-angkanya. Tidak benar ada kuota dengan angka 162250 itu!
Saya banyak ditanya soal acara Seminar Riset Bansos, 23 Juli 2020, di Hotel Grand Mercure, Jakarta. Waktu itu saya diminta jadi fasilitator (moderator). Salah satu pembicara adalah Ray Rangkuti (Lingkar Madani).
Waktu itulah saya ketemu beberapa vendor. Salah satunya, perempuan muda berjilbab sambil hampir menangis menceritakan betapa dia amat sulit mendapat kuota karena kata orang Kemensos: sudah dikuasai “dewa-dewa”.
Padahal UMKM mereka berdiri jauh sebelum ada pekerjaan bansos. Dan mereka memang bergerak di bidang perdagangan kebutuhan pokok seperti beras dll.
Saya dan Ray Rangkuti meneriakkan pada seminar itu, bahwa UMKM harus mendapat haknya.
Jadi itulah yang ingin diketahui penyidik, kenapa saya ngotot meminta UMKM ini bisa mendapat kuota.
Sekarang ada beberapa pertanyaan tersisa di otak saya saat melangkah meninggalkan KPK:
1) Apakah BAP memang bisa keluar dan jatuh ke tangan oknum yang kemudian mengaku wartawan (kasihan juga media yang dia sebut-sebut, kalau ternyata tidak benar demikian)?
2) Kok rangkaian tanggalnya sistematis sekali?
3) Kok tidak banyak media yang memuat berita percobaan pengancaman dan pemerasan oleh wartawan terhadap saya?
4) Ada teman menyatakan, apakah ini masih terkait dengan dendam akibat unggahan dokumen perjalanan wartawan di KKP dulu? Anda masih ingat kan kasusnya. Padahal sudah jelas bahwa yang mengunggah bukan saya. Tapi seorang mantan jurnalis senior yang satu almamater media dengan salah satu nama yang disebut di situ.
Makanya kasus itu saya bawa ke Dewan Pers. Semoga saja tidak ada kaitannya dengan unggahan itu lagi (harusnya kasus sudah ditutup karena Dewan Pers adalah otoritas tertinggi civil society di bidang jurnalisme).
5) Atau terkait rencana saya segera mengajukan JR ke Mahkamah Konstitusi, soal Presidential Threshold, dengan bukti amat kuat berupa minutes of meeting saat MK membuat Keputusan Pemilu Serentak (2013)? Terlalu jauh mungkin, walau ada relevansinya di tengah isu “3 Periode” atau “mau menaikkan PT” dan lain-lain.
6) Atau reaksi sindikat penyelundup benih lobster yang sering saya teriakkan (dengan omzet 10,08 triliun pertahun), yang punya kaki kemana-mana? Dan sampai sekarang aparat hukum termasuk KPK terkesan enggan menelusuri lika-liku sindikat ini. Walau itu amat mudah, bisa mulai dari memeriksa unit karantina di berbagai bandara sejak 2016 sampai 2019!
Tapi di luar semua itu, ada 2 pertanyaan penting yang lebih praktis:
7) Kalau mau lebih sistematis, bukankah sebaiknya KPK memanggil lebih dulu, nama-nama PT yang konon dikaitkan dengan nama saya (juga oleh wartawan yang mencoba mengancam & memeras itu)? Baru kemudian dikonfrontir dengan saya.
7) Ini puncaknya: saya yakin para UMKM itu, yang mengadukan nasib pada saya, di tengah Seminar Riset Bansos 23 Juli 2020, paling-paling mendapat 20ribu sampai 50ribu kuota bansos, dibanding jumlah 22.800.000 paket bansos (12 tahap) di Jabodetabek!
Katakanlah saya sudah dipanggil KPK mewakili mereka. Sekarang pertanyaan penting: kapan para dewa, dan pemilik jutaan paket yang sudah disebut-sebut akan kita lihat dipanggil KPK?
Bukankah Gedung Merah Putih selalu berusaha bertindak adil?
[***]