DARI data yang kita kumpulkan, kasus-kasus dugaan korupsi yang ditangani KPK sejak tahun 2004 hingga 2017, ada 58 perkara yang diajukan praperadilan, dari total jumlah tersebut KPK mengalami kekalahan sebanyak 6 perkara. Yang menarik kekalahan KPK terjadi sejak tahun 2015. Artinya KPK sering kalah di praperadilan sejak era Presiden Jokowi.
Dalam 10 tahun kepemimpinan SBY, sejak 2004 hingga 2014, ada 32 perkara dugaan korupsi yang ditangani KPK diajukan praperadilan oleh tersangka kepada pengadilan, namun tidak ada satupun perkara tersebut dimenangkan oleh penggugat, KPK 100 persen memenangkan praperadilan sejak 2004 hingga 2014.
Pada tahun 2015, tahun pertama kepemimpinan Presiden Jokowi, pra peradilan terhadap KPK ada 25 perkara. Dan KPK menang 22 perkara, 3 perkara KPK kalah. Sementara pada tahun 2016, KPK mendapat 10 gugatan praperadilan pada kasus-kasus dugaan korupsi yang diitanganinya.
Dari 10 praperadilan KPK menang 8 perkara dan kalah 2 perkara. Tahun 2017 KPK kalah lagi dalam praperadilan kasus dugaan korupsi E-KTP Setya Novanto. Jadi total selama 3 tahun terakhir sejak 2015-2016 dan 2017 KPK telah mengalami 6 kekalahan dalam praperadilan.
Berikut adalah nama-nama yang berhasil mengalahkan KPK dalam praperadilan :
1. Hadi Purnomo (Mantan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan)
Mantan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Hadi Purnomo menang atas gugatan pra-peradilan kasus penyalahgunaan wewenang dalam penerimaan permohonan keberatan wajib pajak PT Bank Central Asia (BCA) Tbk tahun 1999. Pada saat itu, Hadi masih menjabat sebagai Dirjen Pajak Kementerian Keuangan dan diduga merugikan negara sebesar Rp 375 miliar.
Sidang pra-peradilan yang dipimpin oleh Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Haswandi menyatakan bahwa penyidikan dan penyitaan barang oleh KPK terhadap Hadi tidak sah dan harus dihentikan. Keputusan tersebut juga berujung pada pengguguran status Hadi sebagai tersangka pada Selasa, 26 Mei 2015.
2. Taufiqurrahman (Bupati Nganjuk)
Bupati Nganjuk, Taufiqurrahman resmi ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas keterlibatannya dalam korupsi lima proyek pembangunan di Nganjuk pada tahun 2016 lalu. Proyek pembangunan itu dikerjakan Taufiq pada tahun 2009. Ia diduga terlibat dalam pemborongan, pengadaan dan persewaan proyek terhadap lima proyek.
Tidak terima dengan penetapan statusnya sebagai tersangka, Taufiqurrahman dan kuasa hukumnya mengajukan pra-peradilan ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. Pengajuan pra-peradilan tersebut pada akhirnya dikabulkan oleh Hakim I Wayan Karya, dengan pertimbangan Surat Keputusan Bersama (SKB).
SKB tersebut menyatakan apabila terdapat dua instansi yang menangani perkara, maka harus dikembalikan ke penyelidikan awal. Kasus ini seharusnya ditangani oleh pihak pertama yang memulai penyelidikan, yaitu Kejaksaan, di mana hal ini ditangani oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Nganjuk. KPK dinilai mengambil alih sebagai penyidik kedua yang menangani kasus ini. Sehingga Hakim Wayan melimpahkan kasus ini kembali ke Kejari Nganjuk.
3. Budi Gunawan
Berawal dari aduan masyarakat, KPK memulai kajian terhadap Komjen Budi Gunawan pada kisaran bulan Juni-Agustus 2010. Pengkajian yang pada akhirnya berujung pada penyelidikan ini terkait dengan ditemukannya kejanggalan transaksi rekening Budi Gunawan pada tahun 2014.
Kejanggalan tersebut padahal sudah terendus oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), namun surat laporan yang sudah PPATK kirim ke Kepolisian RI, tidak diteruskan ke KPK. Budi Gunawan ditetapkan sebagai tersangka dalam dugaan suap dan pelanggaran UU korupsi. Tak lama kemudian, Budi dan kuasa hukumnya kemudian menggugat KPK di pra-peradilan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan.
Gugatan pra-peradilan tersebut dikabulkan oleh Ketua Majelis Hakim Sarpin Rizaldi pada Senin, 16 Februari 2017. Hakim Sarpin menilai bahwa penerimaan hadiah yang dilakukan oleh Budi tidak terkait dengan kerugian negara. Sehingga, penetapannya sebagai tersangka dinilai tidak sah dan tidak mengikat hukum.
4. Ilham Arief Sirajuddin (Mantan Walikota Makassar)
Ilham Arief Sirajuddin terbukti bersalah atas korupsi Pengelolaan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Makassar tahun 2006 – 2012. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan dua alat bukti yang kuat untuk menjerat Ilham. Ia diduga melakukan penyalahgunaan wewenang secara bersama-sama yang merugikan negara. Ilham menyeret Direktur Utama PT Traya Tirta Makassar, Hengky Widjaja yang juga jadi tersangka dalam kasus yang sama.
Pada Selasa, 12 Mei 2015, Ilham dan kuasa hukumnya mengajukan pra-peradilan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. Dipimpin oleh Hakim Yuningtyas Upiek Kartikawati, Ilham memenangkan pra-peradilan terhadap KPK.
Putusan pra-peradilan Ilham menghasilkan tiga poin penting, yaitu penetapan Ilham sebagai tersangka yang dianggap tidak sah, kemudian penyitaan, penggeledahan dan pemblokiran rekening milik ilham yang tidak sah, serta instruksi hakim kepada KPK untuk memulihkan hak sipil dan politik Ilham.
Tak berhenti di situ, KPK membalas kekalahannya dengan mengeluarkan surat perintah penyidikan (Sprindik) baru kepada Ilham. Lagi-lagi, Ilham ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus yang sama.
Pada Kamis, 9 Juli 2015, Ilham mengajukan pra-peradilan yang kedua kalinya di PN Jakarta Selatan. Namun keberuntungan tidak berpihak pada Ilham, permintaan pra-peradilannya ditolak oleh Hakim Amat Khusairi. Hakim Amat menilai bahwa dua alat bukti KPK, yang di antaranya adalah Laporan Hasil Penyelidikan dari BPK sudah kuat untuk menetapkan Ilham sebagai tersangka.
5. Marthen Dira Tome (Mantan Bupati Sabu Raijua NTT)
Marthen ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pendidikan luar sekolah (PLS) senilai Rp 77 miliar. Saat itu, Marthen masih menjabat sebagai Kabid PLS Dinas Dikbud NTT pada tahun 2007 lalu. Namanya ditetapkan sebagai tersangka pada November 2014 oleh lembaga anti rasuah tersebut. Tidak terima ditetapkan sebagai tersangka, Marthen kemudian mengajukan gugatan pra-peradilan ke Pengadilan Jakarta Selatan. Gugatan pra-peradilannya sempat dikabulkan pada 18 Mei 2016.
6. Setya Novanto (Ketua DPR-RI Sekarang)
Hakim tunggal Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Cepi Iskandar akhirnya memutuskan untuk mengabulkan gugatan pra peradilan Ketua DPR Setya Novanto dalam persidangan yang digelar pada Jumat, 29 September. Dengan demikian, maka status tersangka yang disematkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dianggap tidak sah. Ia juga memerintahkan agar proses penyelidikan terhadap Setya dihentikan.
Setya Novanto diduga teribat dalam kasus korupsi KTP elektronik yang merugikan negara sebesar Rp. 2,3 triliun. Sidang gugatan pra peradilan mulai bergulir sejak 20 September lalu dan didaftarkan dengan nomor register 97/Pid.Prap/2017/PN Jak.Sel. Setya mengguggat penetapan statusnya sebagai tersangka oleh KPK.
Oleh Ali Sodikin, Pemerhati Masalah Sosial Politik, Mantan Aktivis HMI