Artikel ini ditulis oleh Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies).
Tindak Pidana Pencucian Uang merupakan kejahatan luar biasa.
Sejauh ini, Indonesia dianggap surga pencucian uang kotor. Mungkin karena penegakan hukum dan iklim politik sangat lemah, karena sudah dikuasai para mafia.
Buktinya, laporan PPATK sejak 2009 sampai 2023 tidak dianggap. Semua pihak terdiam.
Presiden, DPR, Aparat Penegak Hukum (APH) dan kementerian keuangan tidak terdengar suaranya.
Padahal PPATK secara berkala, setiap enam bulan, wajib menyampaikan laporan kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat. Sesuai perintah pasal 47 UU No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Laporan PPATK juga disampaikan kepada kementerian keuangan dan Aparat Penegak Hukum (APH). Total ada 300 laporan. 200 untuk kementerian keuangan dan 100 untuk APH: KPK, Kejaksaan, atau Kepolisian.
Semua laporan PPATK tersebut nampaknya terpendam. Tidak ada tindak lanjut yang berarti.
Tidak terdengar ada pidana pencucian uang dibongkar kementerian keuangan, dan pelakunya dihukum pidana.
Padahal jumlahnya sangat fantastis, Rp349 triliun. Itu hanya terkait di kementerian keuangan. Belum termasuk di kementerian-kementerian lainnya atau kejahatan-kejahatan lainnya seperti narkoba, judi, dan lainnya, yang nilainya juga sangat fantastis.
Semua bungkam, sampai Mahfud MD membongkar transaksi keuangan mencurigakan Rp349 triliun, melibatkan 491 pegawai kementerian keuangan. Baru semuanya seperti terkaget-kaget.
Kementerian keuangan juga seperti kaget. Ngakunya tidak tahu apa-apa. Padahal sudah banyak pegawai kementerian keuangan ditangkap aparat penegak hukum terkait kasus penyuapan pajak dan gratifikasi.
Banyak nama pegawai kementerian keuangan yang tertangkap sudah masuk dalam laporan PPATK. Mereka diduga melakukan transaksi keuangan mencurigakan dan pencucian uang.
Dua pegawai kementerian keuangan, Denok Taviperiana dan Totok Hendriyatno, juga masuk laporan PPATK. Diperiksa Kepolisian tahun 2007. Tapi lolos.
Kemudian diperiksa Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan. Keduanya dinyatakan bersalah, terbukti menerima suap Rp500 juta dari wajib pajak.
Tetapi, apa yang terjadi?
Keduanya diberhentikan tahun 2012, dengan alasan penegakan peraturan disiplin PNS. Kok bisa? Padahal keduanya terbukti melakukan tindak pidana!
Denok Taviperiana dan Totok Hendriyatno kemudian ditangkap polisi pada 2013.
Patut diduga, pemecatan koruptor kementerian keuangan justru untuk menyelamatkan yang bersangkutan dan institusi kementerian keuangan agar tidak merembet ke pegawai lainnya?
Mungkin ini yang dimaksud Sri Mulyani, sudah menindaklanjuti semua laporan PPATK, dengan memberi hukuman disiplin atau memberhentikan, bagi mereka yang nyata-nyata terbukti melakukan tindak pidana.
Betapa hancurnya negeri ini, penjahat koruptor hanya dihukum disiplin dan diberhentikan. Sedangkan yang di dalam institusi masih terus bisa melanjutkan kejahatannya?
DPR awalnya juga bungkam, sampai terjadi polemik antara PPATK dan Kemenko Polhukam disatu sisi dan kementerian keuangan di lain sisi.
Reaksi DPR seperti panik dan terkesan “menghujat” Mahfud. Katanya, jangan buat gaduh. Jangan buka aib sesama lembaga. Bahkan mengingatkan, tapi terdengar seperti mengancam, siapa yang buka informasi PPATK bisa dipidana.
Presiden juga tidak terdengar suaranya, sampai Mahfud dipanggil DPR.
Kenapa semuanya terdiam? Bukankah presiden dan DPR sudah menerima laporan PPATK setiap enam bulan?
Petinggi Partai Politik juga bungkam. Seolah-olah dugaan pencucian uang Rp349 triliun bukan masalah penting. Padahal kejahatan ini berdampak sangat buruk. Rasio penerimaan negara (dari pajak dan bea cukai) turun, angka kemiskinan naik.
Bukan saja DPR, Presiden, kementerian keuangan, APH, dan petinggi Partai Politik yang terdiam. Para calon pemimpin bangsa di masa depan juga terdiam.
Para calon presiden dan wakil presiden seperti tidak peka terhadap dugaan pencucian uang yang sangat merusak ini.
Mereka sepatutnya memberi pernyataan sikap terhadap dugaan mega skandal ini, pernyataan sikap terhadap pemberantasan korupsi dan tindak pidana pencucian uang yang sudah mendarah daging sampai ke tulang sumsum eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Apakah sikap diam para calon pemimpin bangsa di masa depan tersebut dapat diartikan, korupsi masih akan merajalela, dan Indonesia masih akan menjadi surga bagi para penjahat pencucian uang?
Betapa malangnya Indonesia!
Bravo kepada Mahfud yang sudah bersuara lantang untuk menegakkan hukum dan keadilan. Kebenaran akan menang.
[***]