MAKIN dekatnya kontestasi politik elektoral nasional tahun 2019, dengan Pemilu Presiden dan Pemilu legislatif yang dilangsungkan secara serentak, berakibat pada tersedotnya perhatian mayoritas publik, maupun para politisi pengambil kebijakan, pada semata-mata debat politik elektoral.
Akibatnya dalam setahun terakhir, masalah-masalah tentang kebebasan, maupun pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia secara umum—termasuk sosial dan ekonomi, tidak dikerangkakan dalam bingkai politik hak asasi manusia, tetapi semata-mata dibatasi sudut pandangnya dalam framing politik elektoral.
Padahal, setelah 70 tahun Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, ada serangkaian tantangan persoalan baru dalam pelaksanaan kewajiban negara untuk menghormati, memenuhi, dan melindungi hak asasi manusia.
Membaca visi dan misi para kandidat calon presiden dan wakil presiden, materi dan komitmennya terhadap hak asasi manusia juga tidak terlalu menggembirakan. Kandidat nomor urut satu, meski secara umum masih menyantumkan sejumlah agenda hak asasi manusia, termasuk penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu, namun kelambatan dalam aplikasi berbagai komitmen hak asasi manusia pada periode sebelumnya, telah memunculkan banyak skeptisme.
Sedangkan kandidat nomor urut dua, bahkan sama sekali tidak menyinggung agenda hak asasi manusia, lepas dari permasalahan yang bersangkutan sebagai terduga pelaku pada beberapa kasus pelanggaran hak asasi manusia masa lalu. Lebih parahnya, belum tuntas dari berbagai utang untuk menyelesaikan berbagai kasus kekerasan di masa lalu—masa otoritarian, justru belakangan di publik muncul ajakan untuk kembali ke periode otoritarian.
Kondisi demikian tentu tidak ideal, dalam perjalanan demokratisasi di Indonesia, yang sudah menginjak periode 20 tahun, yang seharusnya sudah konsisten dengan beragam prinsip dan nilai hak asasi manusia. Apalagi dengan berbagai permasalahan dan tantangan aktual hak asasi manusia yang kian beraneka ragam, tidak sebatas hubungan warga negara dengan negara, tetapi juga melibatkan aktor-aktor non-negara.
Mencermati kondisi tersebut, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), akan memotretnya setidaknya dari lima aspek: (i) capaian dalam agenda penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu; (ii) situasi umum kebebasan berekspresi dan hak atas privasi; (iii) permasalahan korporasi dan hak asasi manusia; (iv) pengarusutamaan HAM dalam pengambilan kebijakan negara; dan (v) permasalahan HAM di Papua.
Sampai dengan hari ini kita masih menghadapi stagnasi dalam penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu. Dari sisi penegakan hukum, tidak ada langkah penting yang dilakukan untuk mengadili para pelaku. Sejumlah posisi penting pemerintahan, justru diisi oleh mereka para terduga pelaku pada sejumlah kasus, yang kian menandai masih kuatnya impunitas.
Kebijakan pemulihan juga tidak terjadi di tingkat nasiona, justru diinisiasi melalui gerakan-gerakan di tingkat lokal yang memanfaatkan momentum kesadaran HAM pemerintah daerah untuk membuat kerangka pemulihan bagi korban pelanggaran HAM. Kebijakan pemulihan ini muncul dalam beragam rupa, yang semestinya bisa dikembangkan menjadi strategi pemulihan nasional, dengan mulai meniti arah pada pengakuan untuk korban-korban pelanggaran HAM masa lalu.
Dukungan bagi bekerjanya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh juga masih sangat minim, baik dari pemerintah pusat maupun Aceh. Padahal capaian di Aceh dapat menjadi pemecah kebekuan atas kemandegan seluruh proses dan mekanisme penyelesain, yang semestinya didukung semua pihak.
Pada level kebebasan sipil, khususnya kebebasan berpendapat dan berekspresi, yang menjadi salah satu indikator penting dalam menilai demokrasi, sampai dengan tahun 2018 masih terus diwarnai dengan bentuk-bentuk kriminalisasi terhadap ekspresi yang sah (legitimate expression).
Luasnya penafsiran terhadap ketentuan-ketentuan pidana pencemaran nama (defamation) dan ujaran kebencian (hate speech), baik dalam KUHP maupun undang-undang sektoral, seperti UU Informasi dan Transaksi Elektronik, masih menjadi pemicu utama munculnya kasus-kasus krimalisasi.
Selain itu, sumirnya aturan dalam penanganan disinformasi, seiring dengan massifnya persebaran hoax dan fake news, jelang pelaksanaan pemilihan umum, juga kian membuka potensi terjadinya pembatasan yang tidak perlu terhadap ekspresi yang sah.
Khusus dalam pemanfaatan teknologi internet, selain permasalahan-permasalahan yang terkait dengan kebebasan berekspresi, juga berdampak pada munculnya beragam ancaman terhadap perlindungan hak atas privasi.
Mulai dari penyalahgunaan data pribadi untuk kepentingan bisnis pemberian pinjaman oleh perusahaan-perusahaan teknologi keuangan (financial technology), hingga potensi eksploitasi data pribadi untuk kepentingan politik elektoral, yang memanfaatkan data pemilih dan data pengguna media sosial.
Ketiadaan UU Perlindungan Data Pribadi yang komprehensif, serta masih tumpang tindih aturan antar-sektor, kian memperlemah jaminan perlindungan perlindungan hak atas privasi.
Dalam konteks bisnis, hadirnya Prinsip-Prinsip Panduan PBB untuk Bisnis dan HAM (UNGPs), juga belum sepenuhnya diaplikasikan secara optimal, baik pada level negara, dengan respon pembentukan dan pembaruan kebijakan, maupun di tingkat korporasi.
Sejumlah konflik kekerasan yang melibatkan masyarakat dan perusahaan juga masih terus terjadi, mulai dari pembunuhan, serangan terhadap integritas personal, krimalisasi, perampasan lahan, sampai intimidasi. Selain dampak personal, situasi ini juga berpotensi membawa dampak destruktif berupa kerusakan lingkungan, apabila tidak mendapatkan solusi penyelesaian yang cepat.
Sebagian kecil perusahaan memang mulai melihat kebijakan internal mereka, dengan melakukan uji tuntas hak asasi manusia (human right due diligence), tapi tanpa suatu kebijakan negara yang sifatnya mengikat (mandatory), tentu sulit berharap semua perusahaan akan melakukan langkah dan tindakan serupa.
Pengarusutamaan hak asasi manusia melalui proses pembaruan kebijakan, untuk mencapai pada situasi konsisten (role of consistent behavior) dengan seluruh kewajiban internasional hak asasi manusia, juga belum mencapai hasil yang optimal. Para legislator yang seharusnya menjalankan fungsi dan kewajiban legislasinya secara maksimal, justru setiap harinya lebih disibukkan dengan urusan pertarungan politik electoral.
Akibatnya pembahsan sejumlah rancangan undang-undang tidak berjalan sesuai dengan target, atau bahkan jauh dari debat substansi untuk memastikan kompabilitasnya dengan hak asasi. Salah satunya terkait dengan proses pembahasan RUU Hukum Pidana (RKUHP), yang masih menyisakan sejumlah persoalan krusial, terkait dengan pembatasan kebebasan sipil warga negara, tetapi justru tidak mendapatkan ruang pembahasan yang semestinya.
Situasi di Papua juga tak-kunjung menggembirakan, pasca-penangkapan 539 mahasiswa dan pemuda Papua di berbagai daerah, pada 1 Desember lalu, serta terjadinya peristiwa kekerasan di Nduga, belakangan berakibat pada memanasnya kondisi keamanan di Papua. Situasi tersebut setidaknya telah memunculkan reaksi pada penggunaan pendekatan represif terhadap Papua.
Sedangkan proses penegakan hukum yang transparan dan akuntabel, seringkali tidak terjadi terhadap kasus-kasus kekerasan di Papua. Kaitannya, dengan pemenuhan dan perlindungan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya warga Papua, kasus kelaparan parah di Agats mengingatkan kita buruknya pemenuhan dan perlindungan hak ini di Papua.
Belum lagi proses alih fungsi hutan secara besar-besaran, untuk keperluan pembukaan perkebunan kelapa sawit dan industri agro lainnya, yang telah berdampak besar pada terjadinya deforestasi, serta kerugian bagi masyarakat adat setempat.
Melihat situasi terkini, serta mempertimbangkan rentetan permasalahan dan tantangan aktual hak asasi manusia, sebagaimana potret di atas, ELSAM memberikan sejumlah catatan.
Pertama, perlunya langkah akselerasi dari negara dalam rangka penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu, termasuk dukungan bagi langkah-langkah penyelesaian penyelesaian di tingkat lokal. Perdebatan tidak semata-mata pada jalur yudisial dan non-yudisial, tetapi mengupayakan semua jalur dalam penyelesian, dengan model penyelesaian yang komprehensif dan integratif.
Pemerintah juga seharusnya tanpa penundaan mengupayakan berbagai mekanisme pemulihan bagi para korbannya, agar mereka mendapatkan kesemapatan yang layak dan setara, sebagaimana warga negara pada umumnya. Mengingat usia korban yang semakin tua, sementara proses keadilan berjalan dengan sangat lambat.
Kedua, perlunya pembentukan sejumlah hukum baru untuk merespon cepatnya perkembangan inovasi teknologi informasi dan komunikasi, termasuk penyusunan panduan-panduan teknis, untuk memastikan ketepatan penyelenggara negara, khususnya penegak hukum, dalam operasionalisasi aturan tersebut. Hal ini penting untuk memastikan, hukum yang ada benar melindungi hak asasi manusia, bukan justru sebaliknya, membatasi hak asasi.
Ketiga, memastikan langkah yang terencana, termasuk pembentukan kebijakan di tingkat negara, untuk mengimplementasikan Prinsip-Prinsip Panduan PBB tentang Bisnis dan HAM. Juga perlu secara terus-menerus mendorong korporasi melakukan internalisasi dan integrasi hak asasi manusia, dalam operasi mereka. Tindakan ini menjadi krusial untuk meminimalisir peluang pelanggaran HAM akibat operasi korporasi.
Keempat, Pemerintah dan DPR secara konsisten menjalankan fungsi legislasi, demi memastikan ketepatan waktu dalam agenda reformasi kebijakan, yang secara substantif memastikan kompabilitasnya dengan kewajiban terhadap hak asasi manusia. Agenda ini memiliki implikasi jangka panjang, dalam pemenuhan dan perlindungan HAM di Indonesia.
Kelima, mengubah pola pendekatan dalam penyelesaian konflik di Papua, untuk memastikan penyelesaian yang menyeluruh atas berbagai kasus hak asasi manusia di Papua. Pendekatan operasi keamanan hanya akan menimbulkan serangan balik atas berbagai upaya penyelesaian. Oleh karenanya perlu model baru penyelesaian, baik dalam konteks sipil dan politik, maupun dalam pemenuhan hak ekonomi, sosial, dan budaya.
Keenam, pentingnya pengarusutamaan nilai-nilai dan agenda hak asasi manusia, dalam kontestasi politik elektoral, agar berbagai persoalan hak asasi yang mengemuka tidak didistorsi menjadi semata-mata masalah politik sesaat. Penegasan ini penting guna memastikan keberlanjutan agenda hak asasi manusia di masa mendatang.
Oleh Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Wahyu Wagiman