SEBAGAIMANA diketahui, kawasan hutan Ciharus, selama 15 tahun ini terus mendapat intervensi manusia, dari aktivitas motor trail, kunjungan illegal, pembalakan dan perburuan, hingga penyalahgunaan lahan lainnya yang terus terjadi.Â
Dari observasi tim #SaveCiharus, hampir semua intervensi kawasan dilakukan oleh personal dan kelompok yang tidak mengetahui status dan aturan kawasan Cagar Alam, sehingga diperlukan sosialisasi termasuk kampanye tentang pengetahuan kawasan.
‎
Selain hal tersebut, kerusakan yang nampak jelas di lapangan adalah terjadinya kerusakan yang diakibatkan motor trail yang menghasilkan demarkasi lahan, sedimentasi, serta pencemaran lingkungan yang diakibatkan sampah pengunjung (termasuk pendaki gunung).Â
Atas kedua masalah tersebut di atas, tim #SaveCiharus berusaha menjawab kedua masalah utama tadi dengan melakukan p‎emasangan sekat sedimen (séngkédan).
Ini dilakukan untuk menghentikan proses kerusakan yang terus terjadi, menahan laju sedimen, dan mereklamasi lahan yang telah terdemarkasi secara alami, menggunakan bahan yang tersedia di dalam kawasan.
Selain itu, dilakukan ‎pemungutan sampah dengan melakukan pembersihan di sekitar kawasan danau Ciharus untuk mencegah kelanjutan proses pencemaran.
Selain itu, juga dilakukan ‎sosialisasi kawasan untuk memberikan pemahaman terhadap masyarakat khususnya pengunjung yang tidak mengetahui status kawasan Ciharus Cagar Alam Kamojang.‎
‎Kenapa harus memberdayakan Negara? lihat kualitas Negara dalam mengurus hutan di Indonesia.
Dalam proses pengajuan kegiatan tersebut di atas, sebagaimana UU No.5 Tahun 1990, Pasal 22 tentang “Diskresi Memasuki Kawasan Konservasi dan Penyelamatanâ€. Serta pasal 4, pasal 10, dan pasal 37 tentang “Peran Serta Masyarakatâ€.Â
Maka sebagai bagian dari legal formal, kita mengajukan surat pemberitahuan sekaligus izin (tidak wajib) kepada Balai Besar KSDA Jawa Barat dengan nomor surat: 02/SaveCiharus-II/2016.Â
Kemudian dalam perkembangannya kita dibalas melalui surat BBKSDA JABAR dengan nomor surat: S.2798/BBKSDA JABAR-2/2016.Â
‎
Pada poin (3) huruf (a), BBKSDA JABAR menggunakan PP 18/2011 yang sudah tidak berlaku sejak diundangkannya PP 108/2015.
Padahal kalau masih memakai PP 18/2011, itu artinya semua eksplorasi yang dilakukan Pertamina di KSA harus angkat kaki segera, sebab nomenklatur panas bumi baru diakomodasi oleh PP 108/2015.
Kemudian pada huruf (b) dan (c) kegiatan kita tidak diijinkan dengan pertimbangan aturan rehabilitasi dan restorasi.Â
Hal tersebut bertentangan, sebab 3 agenda #SaveCiharus di atas, dilakukan tidak dalam kapasitas restorasi di dalam kawasan Suaka Alam, melainkan sebagai tindakan pencegahan keberlanjutan kerusakan di dalam kawasan.‎
Kemudian, pada poin 5 isi surat tersebut, disebutkan bahwa pada pelaksanaannya, Tim SaveCiharus diharuskan melakukan koordinasi dengan Bidang KSDA Wilayah II Soreang dan Seksi Konservasi Wilayah III Soreang.Â
‎
Padahal bidang yang melakukan tanggungjawab CA Kamojang adalah Bidang Ciamis. Kita sudah dua kali dilempar ke ujung timur Priangan, kemudian sekarang harus mendatangi wilayah Soreang yang jelas bukan kewenangannya.
Negara yang mengurus hutan dan kawasan sebegitu tidak mengertikah terhadap aturan ini? lihat bagaimana masyarakat yang hendak membantu kerja mereka dipersulit bahkan dikerjain dengan hal macam ini, sementara itu keruskan dibiarkan, bahkan cenderung didukung.Â
Apa karena program kita tidak melibatkan dana untuk Balai?‎ Mudah-mudahan kualitas pengurus hutan semakin hari semakin meningkat dan profesional, sehingga kerusakan bisa dihentikan, dan bencana yang bersumber dari kerusakan hutan bisa dihentikan. Aamiin.‎
Oleh Pepep DW, Penggiat #SaveCiharus
‎