PADA saat ini muncul wacana kebijakan yang digulirkan oleh pemerintah dalam hal ini oleh Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristek Dikti) M. Natsir untuk melakukan impor warga negara asing (WNA) untuk menjadi rektor di perguruan tinggi negeri (PTN) yang ada di Indonesia. Dalihnya, agar dunia pendidikan tinggi Indonesia berdaya saing global.
Padahal hari ini, dunia pendidikan Indonesia sedang melakukan pembenahan secara serius guna menciptakan para intelektual-intelektual yang mampu menjawab tantangan zaman serta mewujudkan cita-cita mulia para pendiri bangsa yang tertuang dalam Preambule Undang-undang Dasar 1945.
Perlu kita cermati bersama wacana yang coba digulirkan oleh Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi mengenai kebijakan impor rektor ini. Sebab, menjadi sangat kontradiktif dengan visi dan misi pembangunan nasional 2015 – 2019 yang dibuat oleh Kementerian PPN/Bappenas.
Padahal baik itu Kemenristek Dikti, Kementrian PPN/Bappenas ataupun kementrian lainnya merupakan para pembantu Presiden dan Wakil Presiden dalam menjalankan roda pemerintahan. Menjadi sebuah kemustahilan apabila antar kementerian tidak terjalin sinergisitas. Visi dan misi pembangunan nasional yang sudah dirancang itu tidak akan terealisasi dengan maksimal.
Visi Pembangunan Nasional 2015-2019, “Terwujudnya Indonesia yang Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian Berlandaskan Gotong Royong”. Setelah Indonesia hingga hari ini masih memberlakukan impor bahan-bahan pokok seperti beras, daging, bawang, cabai dan lain-lain, sekarang muncul wacana memberlakukan impor WNA untuk dijadikan rektor di PTN.
Lantas, dimana kedaulatan yang Pemerintah maksud itu, jika benteng terakhir pembangunan sebuah bangsa yakni pendidikan pun diwarnai dengan impor orang asing. Bahwa untuk berdaya saing global itu bukan mesti memberlakukan impor WNA.
Dan jikalau melihat salah satu misi pembangunan nasional pemerintahan Jokowi-JK adalah “Mewujudkan Masyarakat yang Berkepribadian dalam Kebudayaan”, sudah tentu yang dimaksud berkepribadian dalam kebudayaan itu tentu adalah kebudayaan-kebudayaan asli bangsa Indonesia yang tenggang rasa, gotong royong, cinta tanah air. Ini yang harus teraktualisasikan dalam kepribadian masyarakat Indonesia secara menyeluruh.
Lantas ketika kita melakukan impor WNA untuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN) apakah akan terwujud kepribadian dalam kebudayaan asli Indonesia? Jangan sampai masyakarat Indonesia yang tenggang rasa, gotong royong, cinta tanah air berubah menjadi kebudayaan barat yang hedonis, individualis, dan pragmatis.
Pemerintah dalam hal ini Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi seharusnya dalam menjawab potret pendidikan tinggi yang masih terjadi di negeri ini, seperti akses pendidikan tinggi yang masih dirasa sulit oleh masyarakat ekonomi rendah, kualitas dan daya saing pendidikan tinggi yang masih minim, pendidikan belum menjadi prioritas pemerintah serta sarana dan pra sarana pendidikan tinggi di Indonesia yang belum memadai.
Perlu kita evaluasi bersama, bahwa menurut konstitusi kita dalam berbangsa dan bernegara sangat jelas menerangkan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Pendidikan yang dimaksud tidak hanya sebatas 12 tahun saja. Tapi juga mempunyai hak untuk mendapatkan pendidikan tinggi juga.
Namun dalam kurun lima tahun terakhir, masih terjadi disparitas yang cukup lebar partisipasi masyarakat ekonomi rendah yang dapat melanjutkan pendidikan menengah ke pendidikan tinggi dengan masyarakan ekonomi tinggi yang melanjutkan ke pendidikan tinggi.
Data Susenas 2014 membuktikan bahwa pendidikan tinggi di Indonesia masih terlampau tinggi harganya sehingga seluruh lapisan masyarakat khususnya masyarakat ekonomi rendah belum bisa mendapatkan pendidikan tinggi secara maksimal.
Selanjutnya mengenai kualitas dan daya saing pendidikan tinggi Indonesia masih minim. Berdasarkan data BAN-PT per tanggal 12 Januari 2015, dari sekitar 4.384 perguruan tinggi di Indonesia, hanya 895 Perguruan Tinggi yang memiliki akreditasi institusi A/B/C.
Dalam tingkatan internasional, hanya tiga perguruan tinggi di Indonesia yang masuk dalam rangking 500 dunia dan ranking asia, serta tenaga dosen tetap yang tercatat di Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi sebanyak 154.968 orang dengan komposisi kualifikasi 54 persen setara magister (S2), 11 persen doktor (S3) dan 36 persen sarjana atau diploma.
Seharusnya pemerintah dalam hal ini Kementerian Ristek dan Dikti mendorong perguruan tinggi baik swasta ataupun negeri meningkatkan kualitasnya.
Sehingga Indonesia tidak hanya mempunyai tiga perguruan tinggi yang masuk dalam top ranking internasional, serta mendorong tenaga pendidik untuk juga meningkatkan kualitas keilmuannya dengan memberikan beasiswa pendidikan lanjut khususnya mendorong para pendidik untuk bergelar doktor (S3).
Karena Indonesia masih minim sekali yang bergelar doktor. Karena tenaga pendidik merupakan kunci sukses mencetak intelektual-intelektual baru yang handal dan mampu menjawab tantangan zaman.
Hingga hari ini di Indonesia pemerintah belum menjadikan sektor pendidikan menjadi sektor yang utama dan prioritas. Padahal pendidikan salah satu sektor yang sangat mendasar dalam mencetak manusia-manusia yang handal dan kompeten. Apalagi Indonesia banyak pakar yang memprediksi akan mendapatkan bonus demografi.
Seperti yang kita ketahui jikalau pemerintah dengan maksimal mamanfaat bonus demografi ini dengan baik niscaya perubahan besar akan terjadi ke Indonesia begitupula sebaliknya. Ini yang harus menjadi catatan penting pemerintah dalam mempersiapkan warga negara yang unggul melalui pendidikan yang baik.‎
Bisa kita lihat Singapura dan Jepang yang paham betul bagaimana memanfaatkan pendidikan untuk mencetak manusia-manusia yang berkualitas dan mampu mengangkat negara tersebut menjadi negara yang sangat diperhatikan dan diperhitungkan di dunia internasional.
Oleh Andre Lukman, Aktivis HMI Bandung