Artikel ini ditulis oleh Fithra Faisal Hastiadi, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI, Direktur Eksekutif Next Policy.
Juni 1919, memasuki awal musim panas di Eropa sebuah pertemuan mahapenting terjadi di Chateau de Versailles. Musim memang sudah menghangat, tapi konflik besar sudah mulai mendingin. Di tempat itulah sebuah perjanjian damai ditandatangani, tepat 5 tahun setelah pewaris takhta austro-hungarian Franz Ferdinand dieksekusi dan memantik awal perang besar.Banyak yang menyebut bahwa perjanjian Versailles itu menyerupai perjanjian damai ala Carthaginia, yaitu setelah Perang Punik, Roma memaksa Chartaginia secara brutal untuk mengganti ongkos perang sekaligus melakukan pelumpuhan massal segala aspek ekonomi dan militer pihak Chartaginia yang telah kalah. Sepertinya memang benar, karena Jerman sebagai pihak yang kalah, diwajibkan membayar ongkos ganti rugi perang yang dipaksakan secara brutal oleh pihak sekutu yang menang. Kejadian itu memantik perdebatan klasik di antara dua ekonom langitan, John Maynard Keynes dan Bertil Ohlin. Saking masyhurnya perdebatan itu, buku teks Ekonomi Internasional (International Economics) ramai-ramai mengabadikannya pada bab transfer pendapatan internasional (international transfers of income). Salah satu buku teks yang cukup baik mengabadikannya ialah versi yang dikarang Paul Krugman dan Maurice Obtstfeld. Debat langitan antara Keynes dan Ohlin ialah mengenai dampak ekonomi sang pesakitan Jerman ketika dipaksa membayar ongkos tersebut. Keynes beranggapan bahwa untuk membayar ganti rugi tersebut, Jerman terpaksa harus menggenjot ekspornya dengan cara yang tidak natural, salah satunya dengan membuat harganya menjadi sangat murah.
Namun, ketika itu dilakukan, ongkos ekonomi akan semakin besar lagi mengingat terms of trade alias kemampuan ekonomi ekspor untuk membeli barang-barang impor semakin berkurang. Akibatnya, produsen semakin susah dan konsumen pun bertambah lemah. Runyamnya ekonomi akibat tidak tersedianya keuntungan ekonomi akibat dari memaksakan ekspor barang-barang yang tidak kompetitif, dengan mengurangi harganya sudah membuat Jerman seperti sudah jatuh tertimpa tangga, sudah kalah tambah binasa.
Ternyata Ohlin tidak sependapat, Jerman masih bisa selamat asalkan dapat membiayai ongkos ganti rugi perang tersebut lewat jalur pajak. Pajak digenjot, ongkos bisa dibayar, Eropa bisa berdaya dan bahkan bisa meningkatkan permintaan terhadap barang-barang Jerman yang diekspor. Akhirnya, terms of trade Jerman bisa membaik, Eropa pun bisa direstorasi. Semua senang, kondisi keseimbangan pareto tercapai.
Tidak alami
Inti dari debat tersebut ialah upaya-upaya untuk menaikkan ekspor lewat jalur yang tidak alami, hanya akan merusak kesejahteraan di jangka menengah dan panjang. Celakanya, praktik serupa justru muncul di Indonesia sebagaimana yang ramai diberitakan.
Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) baru-baru ini menerbitkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 5 Tahun 2023 tentang Penyesuaian Waktu Kerja dan Pengupahan pada Perusahaan Industri Padat Karya Tertentu Berorientasi Ekspor yang Terdampak Perubahan Ekonomi Global, yang mengatur jam kerja hingga pemotongan gaji buruh maksimal 25 persen. Beberapa di antara industri yang mendapatkan kekhususan itu ialah industri tekstil dan pakaian jadi, alas kaki, kulit dan barang kulit, furnitur, serta mainan anak. Kemenaker beralasan, itu ialah sesuai dengan kehendak para pengusaha yang mengeluhkan ongkos produksi yang memang sudah sangat membebani. Sebenarnya, keluhan para pengusaha itu sahih. Dilihat dari sisi tekanan biaya produksi, memang terdapat selisih jarak yang sudah cukup jauh antara harga produsen dan harga konsumen. Produsen terus tertekan dan potensi keuntungannya pun terus tergerus. Hasil olah mahadata (big data) dari puluhan juta titik yang kami kelola juga menunjukkan hal serupa, harga-harga merupakan momok yang muncul dan membuat gelisah, baik produsen maupun konsumen.
Hanya saja, cara dari Kemenaker mengatasi masalah terkesan sangat sempit pikir dan nirkoordinasi. Saya sebut sebagai sempit pikir karena beberapa hal sebagai berikut. Pertama, sebagaimana debat masyhur Keynes kontra Ohlin tersebut, upaya mendongkrak ekspor lewat jalur yang tidak alami hanya akan berujung pada penurunan daya ekonomi di jangka menengah dan panjang.Kedua, Keynes juga sudah mengajarkan bahwa upah bersifat kaku. Ketika ekonomi menggeliat, upah biasanya akan mengikuti. Namun, lain halnya ketika ekonomi melambat, upah hampir mustahil turun. Sebabnya banyak, bisa karena kontrak, bisa karena faktor politik, dan faktor- faktor lain. Itu hingga strategi mengantisipasi pelambatan ekonomi bukan dengan menurunkan upah, melainkan dengan menambah insentif untuk para produsen lewat jalur lain. Salah satunya ialah melalui insentif fiskal. Nah, poin kedua itu yang membawa argumen saya mengenai nirkoordinasi. Pengusaha mengeluh ongkos produksi mahal, lantas muncul reaksi sempit dari Kemenaker dengan memangkas seperempat upah. Padahal, jika Kemenaker bisa berkoordinasi dengan Menko Perekonomian, bisa saja diaturkan kebijakan yang juga melibatkan Kementerian Keuangan untuk memberikan insentif sementara, baik dalam bentuk keringanan pajak maupun subsidi, untuk mengakali ongkos produksi yang merangkak naik.
Salah satunya dapat berupa kebijakan pemerintah menanggung seperempat upah buruh tersebut dalam jangka waktu tertentu alih-alih langsung membebaninya langsung ke buruh. Ingat, itu ialah tahun politik, percik api sedikit saja bisa memantik kegelisahan yang meluas. Memang insentif itu juga bentuk tidak alami dalam memacu ekspor, tetapi masih jauh lebih baik daripada langsung bersentuhan dengan sensitivitas buruh.
Lantas, apa cara yang lebih alami? Jawabannya ialah kapasitas, produktivitas, dan daya retas. Dalam buku saya yang berjudul Globalization, Productivity and Production Networks in ASEAN, diulas lekat mengenai faktor-faktor yang membuat produk ekspor kita tidak kompetitif. Yang paling utama ialah terlalu tertutupnya pasar barang input produksi akibat dari hambatan-hambatan tarif dan nontarif. Akibatnya, para produsen terpaksa mendapatkan barang input lebih mahal, yang berujung pada tidak kompetitifnya barang ekspor akibat dari terhambatnya kapasitas produksi.
Hal itu justru sangat kentara pada sektor-sektor yang disebut Permenaker 5 Tahun 2023 yang berkurang daya gedornya di tingkat dunia. Pada gilirannya, partisipasi kita dalam jaringan rantai produksi global menjadi sangat terbatas. Indonesia, bahkan sudah tertinggal dari Filipina dan Vietnam dalam rangking partisipasi jaringan produksi global industri.Berikutnya ialah dari produktivitas tenaga kerja. Saya sangat sepakat bahwa ekosistem ketenagakerjaan kita memang jauh dari ideal. Produktivitas tenaga kerja yang stagnan, tidak seimbang dengan laju dari peningkatan upahnya. Akibatnya, ongkos produksi dari sektor padat karya terbilang mahal. Berbagai dimensi permasalahan ketenagakerjaan di Indonesia, di antaranya peraturan tenaga kerja yang kaku yang telah menghambat kemampuan mendatangkan investasi, buntunya upaya reformasi ketenagakerjaan, dan menghambat kemampuan Indonesia untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi tantangan globalisasi. Menurut survei ekonomi OECD, Biaya buruh di Indonesia memang mengalami peningkatan lebih cepat di Indonesia jika dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya. Hal itu yang mendasari upaya pembaruan ekosistem secara menyeluruh melalui UU Cipta Kerja. Jadi, pendekatannya ialah lebih institusional dan menyeluruh ketimbang ad hoc. Lebih lanjut, di jangka menengah panjang diperlukan juga upaya menambah investasi untuk pendidikan dan pelatihan sehingga laju upah bisa seiring dan sejalan dengan produktivitas.
Negara potensial
Terakhir ialah mengenai daya retas pasar internasional. Ekonomi dunia memang sedang melemah, tetapi masih ada negara-negara potensial yang bisa digali pasarnya. Okelah Amerika Serikat tersikat, Eropa lemah tak berdaya, Jepang terpanggang, Tiongkok masih kurang berdaya, tapi ada negara-negara mitra yang nontradisional sedang melimpah daya dan diguyur berkah. Apalagi mayoritas dari negara yang tengah berdaya itu berada di lingkup negara-negara selatan yang secara historis sangat dekat dengan Indonesia. Ketika kita mencoba merangsek masuk dan mengait potensi pertumbuhan negara-negara tersebut, sesuai dengan prinsip gravitasi dari ekonomi internasional, potensi permintaan juga akan meluas. Sesuai dengan paradigma Stolper-Samuelson, dinamika itu akan berpotensi mengungkit ekspor Indonesia secara alami, tanpa harus mengorbankan buruh. Dampak lanjutannya ialah tidak hanya ekspor kita yang meningkat secara alami, tetapi juga upah buruh bisa terkerek naik karena pelebaran dan perluasan pasar, sesuatu yang tentu berjalan secara alami sesuai dengan mekanisme pasar. Saya rasa, Permenaker 5 Tahun 2023 itu tak ubahnya selimut tebal yang tidak kita butuhkan di musim panas. Jika dipakai, justru membuat keringat mengucur deras. Alih-alih bermanfaat, justru membuat gelisah. Bahkan, itu sangat tidak sesuai dengan patron siklus anggaran politik (political budget cycle) memasuki tahun politik yang seharusnya justru semakin melimpahi konstituensi (rakyat) dengan segala keberdayaan. Lantas, siapa yang bisa manganulir kebijakan itu? Peluang terbaik kita sepertinya masih akan mewujud pada empati Presiden Joko Widodo. Pak Presiden, tolong singkap selimut tebal itu.
[***]