Perjuangan Mengembalikan Tanah Kepada Rakyat.
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
Selamat Siang, Salam Sejahtera bagi Kita Semua. Saudara-saudara sebangsa dan se tanah air.
Baru bulan lalu, tepatnya pada tanggal 17 Agustus, kita memperingati Hari Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-76.
Dalam setiap memperingati Hari Kemerdekaan ada hal yang menarik, tepatnya ironi, karena pada saat yang bersamaan, bahkan saya rasakan sejak aktif dalam gerakan mahasiswa di ITB pertengahan tahun 70-an, pada hari kemerdekaan itu muncul pertanyaan sinis: Apakah kita sudah merdeka?
Makin ke sini, pertanyaan “Apakah kita sudah merdeka?” bukannya hilang, bahkan makin nyaring dan menggema di hati kebanyakan rakyat Indonesia.
Sebetulnya, kalau dilihat dari produk politik yang dilahirkan pemerintahan RI, terutama Undang-undang No 5 Tahun 1960 tentag Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), bangsa ini sudah sangat merdeka.
Sebab inilah undang-undang yang benar-benar berpihak kepada rakyat. Inilah undang-undang yang secara revolusioner mengubah 180 derajat peraturan kepemilikan tanah dari versi penjajah Belanda yang memberikan keleluasaan kepada penjajah memiliki dan menguasai tanah sesuka-suka mereka.
Pada intinya, UUPA yang lazim disebut UU Reforma Agraria ini filosofinya “mengembalikan tanah kepada pemilik aslinya, kepada rakyat Indonesia!”
Karena pada dasarnya mayoritas rakyat Indonesia ini petani, maka tidak salah jika tiga (3) tahun kemudian Presiden Sukarno menetapkan tanggal disahkannya UUPA 24 September (1960) sebagai hari dikembalikannya hak (ekonomi) atas tanah kepada petani, yang kita kenal sebagai Hari Tani Nasional.
Saudara-saudara sebangsa dan se tanah air, Kita berkumpul di sini hari ini, untuk memperingati Hari Tani Nasional itu. Hari Tani Nasional yang ke-58 kalau dihitung sejak ditetapkan oleh Presiden Sukarno.
Akan tetap uniknya, atau tepatnya ironisnya, sebagaimana saat ketika kita memperingati Hari Tani Nasional pada tahun-tahun sebelumnya, alih-alih tanah sudah kembali menjadi milik petani, justru yang mengemuka pada setiap memperingati Hari Tani Nasional, yang diungkap teman-teman pejuang hak-hak masyarakat sipil, khususnya hak-hak para petani, justru angka konflik tanah yang terus membengkak, jumlah konflik agraria yang kian sulit menemukan titik penyelesaiannya.
Padahal pada 1960 itu, para pendiri bangsa segera membuat UUPA begitu situasi politik relatif stabil, karena pasca gejolak politik yang tiada henti hingga muncul Dekrit 5 Juli 1959, pemerintahan waktu itu ingin agar rakyat, khususnya petani, benar-benar merasakan hidup di negeri yang merdeka.
Karena pemerintah tidak ingin ada konflik soal tanah muncul ke permukaan. Para pendiri bangsa sangat paham bila muncul konflik soal tanah akan menimbulkan keguncangan politik yang sulit diprediksi dan sulit dikendalikan.
Para pendiri bangsa sangat paham, perang besar berkepanjangan yang merugikan pemerintahan penjajahan Belanda terjadi gara-gara, atau dipicu oleh konflik soal tanah. Itulah Perang Diponegoro di Jawa (1825-1630) dan Perang Padri di Sumatera Barat (1803–1838).
Soal dua perang besar ini, saudara bisa mencari tahu kisah lengkapnya di internet. Tinggal googling saja.
Saudara-saudara sebangsa dan se tanah air, khususnya kaum Tani dan kaum Buruh
Saya sangat memahami, karena terus mengikuti persoalan soal tanah. Bahwa yang paling banyak terdampak persoalan tanah adalah para petani dan kaum buruh.
Ada yang semula petani, lalu sawahnya digusur, kemudian menjadi buruh, dan kesulitan memperoleh perumahan, bahkan yang paling sederhana sekalipun. Itulah sebabnya, ujung dari persoalan tanah kemudian menjadi persoalan Hak Asasi Manusia, menjadi pelanggaran HAM.
Pendapat ini dikonfirmasi oleh Kantor Komisi Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia/Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights (OHCHR) yang menyatakan bahwa akses untuk menggunakan dan mengendalikan tanah berdampak secara langsung pada pemenuhan hak asasi manusia.
Sengketa tanah juga sering menjadi penyebab terjadinya konflik sosial, benturan horisontal, dan kekerasan terhadap rakyat yang berujung pelanggaran HAM.
Apa yang menjadi kekhawatiran Kantor Komisi Tinggi PBB untuk HAM memang terjadi di Indonesia. Menurut catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), pada 2019 terjadi 279 Konflik Agraria, melibatkan tanah seluas 734.239 hektar dan berdampak pada 109.042 Kepala Keluarga.
Kemudian pada 2020 KPA mengungkapkan ada total 241 kasus Konflik Agraria. Terjadi di 359 daerah di Indonesia dengan korban terdampaknya 135.332 Kepala Keluarga (KK). Tertinggi terjadi pada sektor perkebunan (122 kasus).
Selama 5 tahun terakhir telah terjadi 2.047 konflik agraria di sektor perkebunan, kehutanan, pertambangan, pertanian, infrastruktur dan properti. Komnas HAM juga punya catatan tersendiri mengenai Konflik Agraria yang diadukan ke lembaga ini dan tak pernah menemukan penyelesaiannya.
Kenapa Konflik Agraria nyaris tak ada yang bisa diselesaikan secara proprosional, kecuali memberikan keuntungan kepada para pemilik modal? Intinya karena para pejabat kita, terutama yang terkait dengan soal tanah, yang memiliki otoritas di sektor tanah, mentalnya masih mental pejabat zaman penjajah. Jadi tidak kompatibel dengan UUPA produk zaman kemerdekaan.
Saudara-saudara sebangsa dan se tanah air, kita harus bergerak maju. Kita harus memiliki perhitungan ke depan yang positif. Harus memiliki kemajuan untuk memperbaiki berbagai indikator kesejahteraan rakyat, memperbaiki catatan-catatan buruk bangsa ini di berbagai sektor.
Mari kita akhiri seremoni peringatan hari-hari bersejarah bangsa ini dengan ironinya sendiri-sendiri.
Mari kita mulai dengan memperbaiki cara memperingati Hari Tani Nasional ini dengan progres yang terukur. Kita harus bertekad agar tahun depan persoalan pertanahan, konflik-konflik agraria secara nasional harus turun.
Untuk itu, dari tempat yang bersejarah ini, saya meminta kepada Saudara Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) untuk:
1. Memaklumatkan Moratorium Nasional penggusuran rakyat dari tanah yang dikelolanya, baik di sektor perkebunan, kehutanan, pertambangan, pertanian, infrastruktur maupun properti.
2. Mengevaluasi, memeriksa dan mengaudit terhadap semua izin peruntukan penggunaan tanah baik itu SIPPT, HGU, HGB, dll yang telah diberikan, baik masa berlakukanya maupun cara mendapatkan izin-izin tersebut.
3. Mewajibkan semua pemilik SIPPT, HGU, HGB, dll untuk mengumumkan a) jenis dan nomer surat izin, b) luas wilayah yang diberikan izin, c) peta (denah) lokasi lahan yang diizinkan dikelola, dan memasangnya di atas plang (billboard) atau yang sejenisnya di tempat strategis agar diketahui masyarakat, khususnya penduduk/pengelola lahan yang menjadi obyek surat izin tersebut.
Dengan cara ini persoalan pertanahan menjadi lebih transparan, dan apabila masyarakat setuju dengan izin-izin tersebut bisa mempersiapkan diri secara lebih seksama, sehingga tidak menjadi korban mafia tanah atau persekongkolan jahat antara pemilik modal dan para preman atau penguasa yang menyalahgunakan kekuasaannya untuk membela para pemilik modal.
Setuju? Kalau setuju, saya minta kepada Bung Iwan Sumule dan kawan-kawan di Jaringan Aktivis Gerakan Pro Demokrasi (ProDEM) serta para tokoh pergerakan pembela demokrasi, untuk membuat surat resmi kepada Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN).
Jangan lupa, tembusannya dikirim ke seluruh Kepala Daerah (Bupati, Walikota dan Gubernur) di seluruh Indonesia. Tembuskan juga kepada Panglima TNI dan Kapolri, agar diteruskan ke pejabat di bawahnya, Kodam, Kodim, Polda dan Polres di seluruh Indonesia.
Saya percaya, dengan tekad yang kuat, dan pengawalan yang serius dari seluruh rakyat Indonesia atas permintaan “Tiga Hal” di atas, 1. Moratorium penggusuran secara nasional, 2. Mengaudit semua jenis surat izin, dan 3. Transparansi penguasaan pengelolaan lahan, persoalan pertanahan di negeri ini, Konflik Agraria, tahun depan akan berkurang secara signifikan.
Semoga Tuhan Yang Maha Pengasih senantiasa membimbing jalan perjuangan kita.
Merdeka! Merdeka! Merdeka!
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
[***]