18 tahun lalu berbulan bulan, bahkan bertahun tahun, kami saat itu mahasiswa tak kenal lelah melakukan konsolidasi siang dan malam. Keringat, airmata, darah bahkan nyawa diantara kami telah kami korbankan.
Rasanya sedih jika kemudian pengorbanan itu tidak membuat republik ini makin membaik. Semua pengorbanan itu saat itu kemudian mampu menyatukan mahasiswa dan rakyat dengan menduduki gedung DPR MPR.
Suasana pendudukan gedung DPR/MPR adalah suasana perlawanan terhadap rezim diktator yang berkuasa 32 tahun. Suasana perjuangan.Tentu pada saat itu bukan perkara mudah karena ruang kemungkinan resiko tragis membayangi para aktivis, sebagaimana terjadi di negara negara lain seperti peristiwa Tiananmen pada 1989.
Kami meyakini bahwa Gerakan reformasi 98 bukanlah pekerjaan tunggal kelompok tertentu. Reformasi 98 adalah sejarah kolektif bangsa ini, ia terjadi karena sinergi yang dahsyat dari banyak komponen bangsa di negeri ini, dan mahasiswa pada saat itu adalah kekuatan utama yang tak terbantahkan.
Spirit gerakan mahasiswa 98 sesungguhnya adalah spirit mengakhiri diktatorisme, mengakhiri otoriterianisme, mengakhiri rezim korup dan mengakhiri rezim oligarkis untuk kemudian berganti menjadi rezim demokrasi, rezim yang tidak korup, rezim yang mampu mensejahterakan rakyat dengan tetap menjunjung tinggi ideologi bangsa dan konstitusi UUDD 1945.
‎
Kini sudah 18 tahun berlalu justru yang terjadi adalah stagnasi dan salah arah dalam mengelola negara. Yang kami sebut stagnasi misalnya pada sektor ekonomi. Sejak 1998 angka kemiskinan tidak ada penurunan secara signifikan, angkanya masih kisaran 13 s.d.15% fluktuatif cenderung naik.
Angka utang negara juga naik fantastik saat ini mencapai 3.200 Triliun. Sementara angka pertumbuhan ekonomi masih stagnan pada kisaran 4 sampai 5%. Â Dengan data itu, artinya kesejahteraan rakyat sebagai cita-cita utama reformasi 98 hanyalah janji-janji palsu elit politik baru.
Situasi real ekonomi saat ini juga mengkhawatirkan, hingga pekan pertama Mei 2016 realisasi penerimaan baru mencapai Rp 419,2 triliun atau sekitar 23 persen dari target penerimaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016 yang sebesar Rp 1.822,5 triliun.
Di sisi lain belanja pada periode sama mencapai Rp 586,8 triliun atau sekitar 28 persen dari target belanja APBN 2016 yang sebesar Rp 2.095,7 triliun. Sehingga, defisit APBN mencapai Rp 167,6 triliun.
Stagnasi juga terjadi di bidang politik. Secara substansial cita cita reformasi untuk mewujudkan demokratisasi berbasis ideologi bangsa tersandera oleh oligarki dan dominasi pemilik modal.
Politik benar telah bergeser dari diktatorisme tetapi menuju wajah baru diktatorisme kolektif atau oligarki. Politik telah bergeser dari monokrasi politik menjadi industrialisasi politik. Ketika pemenang industri politik berkuasa kekuasaan makin diperparah dengan bancakan kepentingan yang sangat pragmatis.
Sampai pada situasi itu kekuasaan kemudian berubah wajah dari oligarki ke kleptokrasi (kekuasaan para maling).Jangan tanya soal politik luar negeri berbasis ideologi negara dengan wajah politik bebas aktif?.
Pada titik ini, tidak lagi nampak politik bebas aktif yang memiliki wibawa kedaulatan tetapi yang terjadi adalah politik luar negeri pragmatis, yang penting nambah investasi (utang).
Faktanya kemudian dominasi utang episode tahun ini cenderung berkiblat ke Tiongkok. Menambah utang terus menerus secara berlebihan. Ini yang kami sebut salah arah mengelola negara.
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa ada beberapa catatan keberhasilan reformasi sampai usianya yang ke 18 tahun ini. Hal yang paling menonjol ada pada dua hal saja. Pertama, pada soal civil liberties (kebebasan sipil).
Rakyat merasa lebih bebas mengemukakan pendapat baik langsung maupun melalui media. Ada semacam kemajuan demokrasi sipil. Kedua, pada soal pemberantasan korupsi.
Keberadaan KPK memberi pengaruh signifikan dalam pemberantasan korupsi pasca reformasi 98 hingga saat ini. Dua keberhasilan tersebut kadang membuat kami bersyukur karena minimal ada manfaatnya gerakan mahasiswa 98.
Setelah 18 tahun berlalu kami mengamati bangsa ini seperti tidak punya arah. Kita tidak punya panduan sistemik misalnya untuk mendesign Indonesia pada 2030? Atau 2050?
Episode lima tahunan yang dulu dibuat dalam bentuk GBHN (Garis-Garis Besar Haluan Negara) kini tidak ada. Panduan substantif normatif konstitusional memang sudah ada yaitu Pancasila dan UUD 1945, tetapi panduan operasional mengelola negara saat ini lebih ditentukan oleh sang pemenang dalam kontestasi politik, lucunya sang pemenang kontestasi politik ini dikendalikan pemilik modal yang memberi financial capital pada sang pemenang saat kontestasi.
Maka dengan sistem politik liberalistik sangat idustri politik ini, arah negara kedepan sangat ditentukan oleh siapa yang memiliki financial capital yang besar dan dominan. Dialah yang menguasai republik ini.
Pada saat yang sama tata kelola negara juga bermasalah karena pengelolaan  negara sudah mulai tidak lagi on the track ideologis maupun on the track regulasi.
Atas nama popularitas, seringkali regulasi tidak lagi dipake dalam mengelola negara saat ini. Atau seringkali menciptakan regulasi baru yang bertentangan dengan regulasi diatasnya. Realitas politik seperti inilah justru problem serius bangsa ini, yang membuat zigzag tak tentu arah.
Ini artinya pemerintah kebingungan arah atau kehilangan arah, pemerihtah tidak bisa bekerja efektif karena dikendalikan pihak eksternal (pemilik modal). Ada semacam disorientasi meski koalisi pemerintah yang berkuasa dipimpin partai yang mengklaim memegang teguh ideologi.
Faktanya ada yang tidak murni berjuang, secara mata telanjang mempertontonkan orientasi pragmatis profit dan kekuasaan. Cleptocracy dan mafiocracy masih menjadi wajah kekuasaan saat ini.
Situasi sosial juga mengkhawatirkan.
Ketidaksalingpercayaan diantara anak bangsa semakin meluas. Satu sama lain saling curiga. Kejahatan sosial tumbuh subur ditengah tengah masyarakat dari kota sampai desa. Situasi sosial kita dijadikan medan proxy war.
Komunisme dan neoliberalisme sedang saling berebut pengaruh melalui perang media, termasuk melalui media sosial dan dunia maya secara luas. Rakyat mengalami situasi yang paling liquid (cair), dan bahkan cenderung kesulitan menemukan kebenaran dalam kehidupan sosial dan dalam praktik pengelolaan negara.
Pada saat yang sama kita terjebak dalam praktik perdagangan bebas yang di luar kendali negara (AFTA, CHAFTA, MEA, TPP). Rakyat tidak hanya menjadi tamu di negeri sendiri tetapi menjadi budak di negeri sendiri.
Dalam situasi politik, ekonomi dan sosial seperti diatas, Â secara geopolitik juga kita minim kedaulatan. Dalam kisruh laut China Selatan sebagai negara maritim kita seperti absen dari medan persoalan.
‎
Fakta fakta di atas menyadarkan kami bahwa elit politik yang berkuasa dari tahun 98 sampai saat ini KAMI NYATAKAN TELAH GAGAL membawa negara ini menuju kemajuan. Mereka telah membuang buang waktu berebut kekuasaan dan mempermainkan kekuasaan. Arah negara telah dibelokan dan dijauhkan dari semangat proklamasi 17 agustus 1945, dari Pancasila dan dari UUD 1945.
Oleh ‎Eksponen 98,
Omen Abdurrahman
Ubedilah Badrun
Eli Salomo dan lain-lain.