POLITIK banyak ragamnya. Papua ingin merdeka itu adalah hasrat politik. NKRI harga mati juga pernyataan politik. Yang pasti, politik akan terus berkecamuk. Namun yang harus dipastikan adalah sejauh mungkin menghindari penggunaan alat-alat kekerasan.
Kita semua pihatin dan mengutuk kekerasan fisik apalagi sampai terjadi pembunuhan terhadap warga sipil tidak berdosa. Pembunuhan oleh siapapun pelakunya, kecuali dalam perang terbuka adalah kebiadaban. Tidak boleh ada pembenaran terhadap sikap ini.
Perjuangan orang Papua generasi era Theys Eluay (yang dibunuh tahun 2001) dan Thaha Al-Hamid dari Presidium Dewan Papua berbeda dengan perjuangan orang Papua generasi yang lebih muda saat ini. Kaum muda di sana menganggap bahwa perjuangan kaum tua yang selalu berbasis dialog damai dan dialog damai dianggapnya tidak segera menghasilkan buah kemerdekaan Papua. Di samping itu, kebijakan resmi Indonesia yang dirasakan orang Papua juga tidak banyak berubah yaitu lebih mengedepankan represifitas.
Dalam situasi yang masih serba tidak menentu, ada tindakan rasis terhadap tokoh muda Papua Natalius Pigay yang tahun lalu diejek dengan sebutan monyet dan gorilla, yang tidak diselesaikan secara hukum bahkan dibiarkan. Tindakan rasis itu muncul kembali beberapa bulan lalu di depan asrama mahasiswa asal Papua di Surabaya dengan teriakan monyet.
Akhirnya kemarahan orang Papua menyala-nyala dan beresonansi dengan aktivis kemerdekaan Papua yang memang tidak sabaran ini. Lebih jauh lagi kaum intelektual muda Papua menyadari bahwa telah banyak keberhasilan pemisahan atau kemerdekaan suatu negara baru di berbagai negara dengan pintu masuk perbedaan dan diskriminasi etnik. Tampaknya, hal ini akan terus dikobar-kobarkan untuk mencari simpati internasional.
Terlepas dari semua analisis seperti salah satunya di atas tadi, yang pasti ada informasi valid yang mengatakan bahwa orang-orang asli Papua yang di gunung-gunung sedang dimobilisasi ke kota Wamena dan tentunya akan menjadikan para pendatang berada di medan pembantaian.
Belum lagi ada kekuatan-kekuatan lain yang siap dimobilisasi untuk datang membantu pendatang di Wamena menghadapi rencana pembantaian di sana. Bila ini terjadi sungguh mengerikan dan karenanya harus segera dicegah. Perlu diambil tindakan signifikan dan cepat.
Negara, tentunya yang paling bisa mengambil langkah ini. Datangkan pesawat-pesawat secepat mungkin ke Wamena dan angkutlah para pendatang mengungsi ke tempat aman seperti misalnya ke Jayapura. Datangkan aparat resmi yang terlatih untuk meminta orang asli Papua mengurungkan niatnya.
Namun ini harus dilakukan super hati-hati jangan sampai terjadi kekerasan kepada mereka apalagi seperti yang terjadi di Santa Cruz Timor-Timur tahun 1991 yang membantai ratusan warga Timor-Timur. Sejak itu, terjadi internasionalisasi kasus Santra Cruz yang berujung pada kemerdekaan Timor Leste.
Di samping peran negara yang harus dominan, semua tokoh masyarakat dan agama di Papua dan di seluruh Indonesia juga harus digalang untuk bersama-sama menggunakan pengaruh dan jaringannya menghadang tragedi atau menyelamatkan kemanusiaan di Papua.
Sejauh ini kita masih beruntung, bahwa tragedi pembantaian di Papua kepada pendatang itu hanya berbasis etnik atau ras, bukan agama. Namun, bila langkah negara dan kita semua ‘too little and too late’, maka tidak mustahil semua unsur perbedaan akan menjadi kayu bakar bagi kobaran api kerusuhan di Wamena dan bahkan bisa menjalar ke segala penjuru Indonesia.
Segeralah bertindak menyelamatkan kemanusiaan di Wamena, Papua.
Oleh Jumhur Hidayat, Aktivis Senior