GENERASI pergerakan pemuda mahasiswa yang sedang membentuk nasib sejarah politik Indonesia modern. Mereka layak disandingkan dengan Angkatan (19)98 dan Angkatan 19(66) dalam hal: kuantitas, adanya martir perjuangan, dan keterlibatan luas kalangan pelajar.
Secara kuantitas tidak ada yang menyangsikan besarnya jumlah massa mahasiswa yang memadati sekitar Gedung DPR Senayan malam itu (23 September 2019). Merupakan suatu rekor tersendiri, bisa jadi lebih besar dari massa mahasiswa era Reformasi 1998, namun yang pasti sebagai Gerakan Mahasiswa adalah yang terbesar di Abad 21. Termasuk bila yang dibandingkan adalah sebaran/luasan Gerakan, Angkatan 2019 masih yang terluas.
Seperti juga Angkatan 1966 dan 1998, Angkatan 2019 juga memiliki martir. Dua orang mahasiswa, namanya masing-masing adalah Randi dan Muhammad Yusuf Kardawi.
Randi adalah mahasiswa jurusan Vokasi Ilmu Perikanan, terbunuh oleh peluru tajam di dadanya saat terlibat aksi demonstrasi di Sulawesi Tengggara. Ayahnya seorang nelayan di Pulau Mina, menyekolahkan Randi ke sekolah perikanan untuk dapat melanjutkan dan mengembangkan bisnis keluarga.
Sedangkan korban kedua adalah Muhammad Yusuf Kardawi,mahasiswa jurusan teknik di Universitas Halu Oleo, mengalami bocor kepala hingga meninggal di Kendari, Sulawesi Tenggara.
Hal yang juga menyamakan Angkatan 2019 dengan gerakan-gerakan besar sebelumnya, di tahun 1998, 1966, ataupun bahkan pada era 1945, adalah keterlibatan pelajar dalam perjuangan.
Keterlibatan pelajar STM dan SMK (yang namanya dijadikan merk mobil nasional, Esemka), sehari pasca demonstrasi mahasiswa di DPR dibubarkan, dalam demonstrasi di Jakarta dan meluas ke daerah-daerah lainnya telah menjadi fenomena tersendiri.
Kabarnya juga, anak-anak pelajar STM ini akhirnya bersatu di lapangan, menyingkirkan permusuhan di antara mereka. Faktanya memang sepanjang tahun sebelumnya marak terjadi tawuran antar sekolah STM dan SMK. Jadi sebenarnya anak-anak ini mengajarkan kepada orang dewasa, bahwa demi sebuah cita-cita politik untuk Bangsa, perbedaan setajam apapun dapat dikesampingkan.
Dengan cerdas para pelajar ini menjawab keraguan publik terhadap kapasitas intelektualnya, dengan menulis di poster aksi: Mahasiswa Orasi, Kami Eksekusi. Jadi biarlah urusan konten perjuangan, ditulis dan dipidatokan (“orasi”) oleh kakak-kakak mereka para mahasiswa, yang tentu lebih intelektual dari mereka karena mengenyam bangku kampus yang sarat akan diskusi dan perdebatan. Tidak seperti mereka yang begitu lulus dari STM dan SMK akan langsung masuk dunia kerja.
Mereka sangat yakin mereka mampu meng-“eksekusi di lapangan. Dan para pelajar ini membuktikannya. Pintu pagar belakang Gedung DPR Senayan yang dijaga ratusan aparat berhasil mereka bobol. Seperti ditayangkan video yang viral di sosial media: terlihat bagaimana dalam suatu adegan di demonstrasi di DPR, para pelajar ini bahkan berhasil merebut dan menguasai mobil water canon milik aparat. Belum ada demonstrasi di Indonesia yang mampu melakukan hal luar biasa ini, mungkin baru pertama kali dalam sejarah.
Banyak pihak yang tercengang kekuatan para pelajar, bahkan ada yang berusaha menghubung-hubungkan hal-hal yang sifatnya kebetulan. Semisal, semangat tinggi dan pemberani para pelajar ini datang karena ada energi yang lahir dari lokasi demonstrasi mereka di dekat pintu belakang DPR, yang kebetulan bernama Jalan Tentara Pelajar Pejuang. Faktanya, semua mata sudah memandang dan ingatan publik akan terus merekam kejadian bersejarah ini.
Namun, apapun capaian dari Angkatan 2019, yang dipimpin oleh mahasiswa dan dijaga semangatnya oleh pelajar, pasti akan tetap ada suara yang berusaha yang merendahkan kualitas mereka.
Ini karena Angkatan 2019 dianggap masih belum mampu mengganti rezim pemerintahan. Tidak seperti Angkatan 1966 yang berhasil menurunkan Sukarno dan Angkatan 1998 yang menurunkan Suharto. Namun Angkatan 2019 dapat berkilah, bahwa gerakan mereka saat ini belum usai karena sedang tebentuk. Dan itu memang benar. Biar sejarah yang membuktikan akan kemana arahnya.
Karena bukan tidak mungkin “kualitas” Angkatan 2019 dapat melampaui kedua angkatan seniornya, Angkatan 1966 dan Angkatan 1998, yang “hanya” menumbangkan rezim tanpa mempersiapkan arah Bangsa ke depan secara aktif. Sehingga membiarkan elit tentara (1966) dan elit sipil (1998) membajak perjuangan Angkatan mereka, dan akhirnya sekali membelokkan arah Bangsa dari cita-cita perjuangan.
Bisa saja kualitas Angkatan 2019 akan lebih jauh lagi, yaitu dengan menjadi penentu aktif dalam pemerintahan pasca 2019. Bisa saja Gerakan mereka tidak selesai saat Perpu KPK dikeluarkan, atau RUU yang mereka kritik tidak jadi disahkan seluruhnya.
Bisa saja mereka akan terus terlibat intens dalam mempersiapkan perubahan sistem politik, ekonomi, dan kebudayaan yang menjadi cita-cita mereka untuk Indonesia. Suatu hal yang alpa dikerjakan oleh angkatan senior mereka di tahun 1966 dan 1998.
Sekali lagi, selamat datang Angkatan 2019! Masa depan Bangsa ada di genggaman kalian.
Oleh Gede Sandra, mantan aktivis pergerakan mahasiswa