KedaiPena.Com- Pengamat ekonomi politik Universitas Bung Karno, Salamuddin Daeng mengaku tidak sepakat dengan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati (SMI) soal pentingnya ketersediaan vaksin Covid-19 guna mendorong pemulihan ekonomi.
Pasalnya selain ada 15 negara di dunia yang berhasil mengalami pertumbuhan ekonomi positif selama pandemi Covid melanda, tanpa vaksin. Keberadaan, vaksin, tidak akan mengembalikan kehidupan manusia seperti dulu.
“Vaksin tidak akan mengembalikan kehidupan manusia sebagaimana dulu lagi. Phisical distanching, people distanching, isolasi, lock down, anti kerumunan akan menjadi gaya hidup di masa mendatang. Indikator pertumbuhan ekonomi dengan meminta global menyediakan vaksin termasuk untuk diimpor Indonesia, jelas indikator salah kaprah,” kata Daeng sapaanya, Jumat, (1/1/2021).
Menurut Daeng, keberadaan vaksin juga tidak akan mengembalikan hubungan antar penduduk, negara serta mobilitas manusia dan barang seperti dulu lagi.
“Protokol kesehatan yang tengah berlangsung dan akan terus berlangsung berada pada posisi berlawanan dengan elemen- elemen ekonomi lama,” tegas Daeng.
Terlebih lagi, lanjut Daeng, vaksinasi memang merupakan salah satu bisnis yang akan tumbuh dalam era ekonomi covid-19 beserta bisnis kesehatan lainnya.
“Karena kesehatan akan menjadi gaya hidup (life style). Karenanya vaksin mesti menjadi salah satu industri yang harus tumbuh secara nasional. Bukan membeli vaksin impor,” tutur Daeng.
Tidak hanya itu, tegas Daeng, Sri Mulyani semestinya juga mengetahui bahwa covid 19 mengubah segalanya dalam hubungan manusia.
“Dengan digitalisasi semua lini maka ekonomi lama akan berubah secara total. Perubahan ini pada pokok pokok sistem ekonomi yang berlangsung sekarang,” papar Daeng.
Daeng menilai, covid 19 dengan dorongan digitalisasi akan mengubah siatem keuangan, mengubah jenis uang, mengubah institusi keuangan.
“Covid 19 dan digitalisasi akan menentukan industri mana yang harus mati, dan industri apa yang harus hidup. Jadi, Sri Mulyani tidak bisa lagi menggunakan harga minyak, nilai tukar rupiah dan inflasi, dan GDP dalam menentukan indikator APBN. Semua tidak lagi relevan. Tampaknya SMI belum menyadari hal ini,” tutur Daeng.
Sri Mulyani, tambah Daeng, tampaknya juga belum mengetahui kesepakatan perubahan iklim COP 21 – 26 bersama covid 19, akan mengakhiri minyak, energi fosil dan industri ekstraktif sebagai tumpuan APBN.
“SMI harus mau belajar mengapa harus demikian,” papar Daeng.
Daeng menambahkan, GDP dimasa depan akan ditentukan oleh sebaik apa negera mengurangi emisi karbon, menjaga hutan, dan lingkungan.
“Seberapa baik kualitas kesehatan, sehingga SMI mesti tau kapan harus mengakhiri, menghentikan tumpuan APBN dari minyak, mengeruk batubara tambang dan perkebunan yang menghancurkan hutan,” tandas Daeng.
Sebelumnya, pernyataan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan, pentingnya ketersediaan vaksin Covid-19 bagi seluruh dunia untuk mendorong pemulihan ekonomi juga tidak diterima oleh Peneliti ekonomi Gede Sandra.
“Saya rasa apa yang disampaikan Bu Menteri Keuangan saat itu tidak sepenuhnya benar. Terbukti banyak Negara di Dunia yang sukses membangkitkan perekonomiannya meskipun belum memperoleh vaksin,” kata dia kepada Kedai Pena, Rabu (30/12/2020).
Menurut Gede, Negara-negara tersebut pasti memiliki menteri ekonomi dan keuangan yang kualitasnya di atas Sri Mulyani. Mereka mampu berpikir inovatif dan out of the box, tidak seperti “Menteri Terbalik” di Indonesia yang hanya bisa berutang dengan bunga tinggi.
Berdasarkan data yang dihimpunnya, Gede menyampaikan sebanyak 15 negara di Dunia berhasil mengalami pertumbuhan ekonomi yang positif selama pandemi Covid melanda, tanpa adanya vaksin. Antara lain:
1. Irlandia 8,15%
2. Turki 6,7%
3. Tajikistan 6,3%
4. Tanzania 5,7%
5. China 4,9%
6. Brunei 2,81%
7. Myanmar 2,9%
8. Kamerun 2,8%
9. Vietnam 2,62%
10. Taiwan 2,55%
11. Korea Selatan 1,9%
12. Luxemburg 0,5%
13. Selandia Baru 0,4%
14. Iran 0,22%
15. Lithuania 0,1%
Laporan: Muhammad Hafidh