SETELAH Pansus Hak Angket KPK di DPR bekerja beberapa hari, muncul suara kritis menuntut KPK dibubarkan. Dengan beragam alasan, eksistensi KPK tidak fungsional dan bermanfaat bagi negara. Suara kritis ini kemudian mendapat reaksi keras dari pihak penolak Pansus Angket dan pendukung KPK.
Saya termasuk menuntut agar KPK dibubarkan. Berbagai kritik dan kecaman terhadap saya tentu bermunculan. Dari para pengkritik saya, beberapa diantaranya saya tanggapi. Tulisan ini merupakan sebagian kandungan tanggapan saya.
Bagi saya, mengkritik dan membincangkan eksistensi KPK dibubarkan atau dilanjutkan, haruslah terhindar dari berpikir terlalu menyederhanakan persoalan. Tidak muncul hanya karena ada pansus angket atau kasus KPK beberapa bulan ini.
Saya sudah lebih lima tahun ini menkritik KPK. Saya mendapat banyak data sesungguhnya KPK itu tidaklah bersih-bersih amat. Saya menilai KPK itu diskriminatif dan rasialis. Kita boleh berbeda sikap terhadap KPK. Saya tuntut bubarkan KPK dengan beberapa alasan baik dari alasan kinerja maupun outcome atau fungsi KPK.
Telah saya bagi ke sejumlah WhatsApp Group (WAG) beberapa pemikiran saya, “Mengapa KPK harus dibubarkan?” Nah, jika ada pihak bersikap pertahankan KPK, seyogyanya bagi tulisan ke WAG atau publik minimal ada jawaban, “Mengapa eksistensi KPK harus dipertahankan?” Siapa tahu, saya bisa berubah pikir karena tulisan tersebut.
Kita sudah saatnya tidak lagi suka me-labeling dan menilai sikap politik orang dengan kacamata seakan orang itu karena pengaruh pihak lain. Sudah saatnya kita menilai suatu fakta dengan argumentasi rasional, kalau bisa syarat kausalitas. Jadi, kita akan bisa mencari solusinya. Nah, kasus KPK juga demikian.
Bagi penolak KPK silakan beri alasannya. Bagi pendukung juga demikian. Yang penting konsisten dan konsekuen dengan argumentasinya. Jangan, berubah-ubah, seperti cerita kancil, mutar-mutar.
Obyek kritisi saya adalah KPK, bukan soal e-KTP atau lainnya sebagaimana pengkritik saya menuntut agar juga saya kritisi. Kalau soal E-KTP, mau kita kritisi, ya obyek kritisi adalah kasus korupsi e-KTP. Jangan dikaitkan dengan Pansus Angket KPK.
Mari kita mulai dari pengakuan Mantan Menteri Dalam Negeri tentang keterlibatan Agus Ketua KPK. Kan, mustahil KPK berani tangkapi elite politik kalau Ketua KPK sendiri terlibat. Data keterlibatan Agus ini sudah ada di tangan pansus angket dan Pimpinan DPR. Paling KPK beraninya cuma tangkap level eselon dari dan “pimpro”. Kalau mau serius, tuntut Agus mundur dari Ketua KPK karena diduga terlibat korupsi e-KTP.
Jika Agus merasa bersih dan benar tak terlibat, sebagai penegak hukum, Agus harus gugat Mantan Mendagri itu ke lembaga penegakan hukum, agar benar-benar publik percaya. Tapi, mengapa Agus tidak menuntut, padahal yang bilang dia terlibat seorang level mantan Menteri?
Saya juga dengan beberapa teman akan jumpai lagi pansus angket. Salah satu upaya akan saya lakukan, yakni meminta pansus mempertanyakan atau menyoal dugaan Agus koruptor e-KTP. Bagaimana mungkin bisa bersih, kalau sapu kotor mau bersihkan lantai kotor. Belum lagi kita bicara, tidak maunya KPK menuntaskan kasus Cina-cina perampok BLBI. Cuma pribumi koruptor kelas ikan teri saja mereka berani.
KPK itu masih takut tuntaskan kasus korupsi e-KTP. Hingga kini baru seorang anggota DPR, Miryam, menjadi tersangka. Yang lain-lain baru dugaan. Kalau mau fair KPK, Mantan Mendagri tersebut saja langsung dijadikan tersangka dan diadili. Biar terang menderang siapa saja terlibat korupsi.
Nanti juga akan ketahuan keterlibatan Agus saat dia jadi Pemimpin LKPP. Apakah faktual dan betul Agus mengatur siapa penyedia jasa yang menang dalam tendering?
Dalam soal kasus korupsi pembelian tanah Rumah Sakit Sumber Waras di DKI Jakarta, juru bicara KPK malah bilang, silakan penegak hukum lain ambil alih kasus ini. Intinya, hingga detik ini tidak ada penetapan tersangka dalam kasus korupsi ini.
Samad waktu wawancara di DPR mau nenjadi komisioner janji mau selesaikan kasus Bank Century? Faktanya? Malah ingin jadi cawapres! Janji tinggal janji.
Kembali soal KPK, memang ada issue dan penilaian di masyarakat tentang pansus angket. Yakni, PDIP getol bentuk pansus angket karena KPK mulai kutak katik Kasus BLBI nyangkut Megawati. Saya terima penilaian itu. Ada lagi penilaian, Golkar getol bentuk pansus angket karena bos mereka terlibat kasus e-KTP.
Ada lagi penilaian, PAN ikut kirim kadernya jadi anggota pansus karena JPU KPK telah menyinggung nama Amien Rais terima dana korupsi. Semua penilaian itu, saya tidak bantah.
Tetapi, bagi saya, sekarang ini ada “momentum” untuk menuntut, agar KPK dibubarkan. Bagi pihak lain bisa jadi bertujuan memperlemah KPK atau juga memperkuat. Itu hak mereka.
Ada dugaan pansus angket mau pangkas kekuasaan KPK. Hal itu masih mending. Kalau saya, meuntut agar KPK dibubarkan. Sebagai anggota masyarakat madani dalam atmosfer demokrasi, boleh kan? Bagi mau memperkuat kekuasaan KPK, silakan saja tampil. Biar publik menentukan siapa mempunyai pemikiran yang akan diikuti. Di sinilah substansi kehidupan demokrasi dalam proses pengambilan keputusan politik. (*)
Oleh Muchtar Effendi Harahap, Peneliti Senior NSEAS