JAUH sebelum kisruh Blok Masela menyeruak ke publik, terkait apakah pengembangannya menggunakan skema laut atau darat, ada baiknya kita melakukan kilas balik terlebih dahulu.
Pada medio 2008, ketika lembaga BP Migas masih ada, Inpex Masela Ltd selaku operator Blok Masela sudah mengajukan rencana investasi pengembangan. Raden Priyono ketika masih menjabat sebagai kepala BP Migas mengatakan, Inpex mengajukan investasi pengembangan sebesar USD 14,5 miliar (data 2008).
“Nilai investasi tersebut dengan asumsi Inpex membangun fasilitas pengolahan gas terapung (floating storage) sekaligus kilang gas alam cair (LNG) melalui skema hulu (upstream). Namun, kalau LNG plant-nya memakai pola hilir (downstream), maka investasi Inpex jauh lebih murah,†kata Priyono, 30 Mei 2008.
Pengembangan Blok Masela dengan skema hulu itu sudah disampaikan Inpex ke BP Migas dalam rencana pengembangan (POD) pada 27 Mei 2008. Namun, BP Migas kala itu masih meminta agar Inpex juga mengkaji pengembangan Masela dengan pola hilir.
Investasi di Blok Masela yang cukup besar itu dikarenakan sulitnya kondisi alam, yakni cadangan gasnya terletak di laut dengan ke dalaman hingga 4.000 meter. Inpex yang merupakan perusahaan asal Jepang, saat itu memegang 100 persen kepemilikan Masela. Kontrak kerja sama Blok Masela antara pemerintah dan Inpex diteken pada 16 November 1998.
Jika merunut peristiwa tersebut, Inpex memang sepertinya menginginkan pengembangan kilang di laut sejak awal. Dugaannya, bisa saja kemungkinan ini salah, jika menggunakan skema hulu, maka Inpex bisa memeroleh apa yang disebut pengembalian investasi alias cost recovery. Namun bila memakai pola hilir, perusahaan asal Jepang tersebut tidak bisa ‘menikmati’ cost recovery.
Oleh Heriyono Nayottama, owner Tabloid Eksplorasi