PRAPERADILANÂ kembali menjadi sorotan pasca Hakim Praperadilan PN Surabaya Ferdinandus B, S.H. mengabulkan gugatan praperadilan yang diajukan oleh La Nyalla Mahmud Mattalitti, terkait dugaan korupsi dana hibah Kadin Jatim pada Selasa 12 April 2016.
Sebelumnya kuasa hukum La Nyalla mengatakan bahwa ada sejumlah alasan yang mengakibatkan penetapan kliennya sebagai tersangka tidak sah, beberapa yang pokok yaitu kasus ini bersifat Nebis in Idem atau sudah pernah diputus dengan terdakwa yang berbeda, proses pemanggilan pemeriksaan sebagai tersangka cacat karena tidak diberi jeda waktu sebagaimana diatur dalam KUHAP dan tidak adanya kerugian negara.
Atas permohonan tersebut, PN Surabaya lalu mengabulkan permohonan La Nyalla dengan pertimbangan diantaranya kasus ini pernah disidangkan sebelumnya sehingga seluruh bukti telah diuji di Pengadilan, bukti kwitansi yang diajukan oleh Jaksa merupakan permasalahan administratif, dan tidak ada kerugian negara. Status tersangka La Nyalla pun dicabut oleh Hakim meskipun dirinya merupakan buronan atau DPO.
Kasus La Nyalla adalah gambaran bahwa hukum acara Praperadilan sangat carut marut, terlebih pasca putusan MK No. 21/PUU-XII/2014 yang memasukkan penetapan tersangka sebagai objek praperadilan, maka benang kusut hukum acara praperadilan semakin tak terurai.
Pada 2013, hasil penelitian ICJR terkait praktik praperadilan untuk Penahanan di Indonesia, ditemukan bahwa selama ini Hakim menerapkan hukum acara praperadilan yang berbeda-beda. Dalam beberapa kasus, hakim bahkan masuk ke dalam pokok perkara namun dikasus yang berbeda dan mayoritas, hakim hanya menguji konteks “formal†dari praperadilan.
Salah satu alasan paling mendasar dari persoalan ini adalah, Indonesia tidak memiliki pengaturan praperadilan yang memadai dan pengaturan hukum acara praperadilan di KUHAP masih sangat singkat dan karenanya tidak memadai sebagai mekanisme kontrol sebagaimana diamanatkan dalam Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014. Penembahan kewenangan tersebut tidak diimbangi dengan pengaturan yang cukup dalam praperadilan.
Kekosongan hukum terkait hukum acara praperadilan ini menjadi fokus utama Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) sedari lama. ICJR sebelumnya pernah mengajukan usulan Naskah Akademik dan Rancangan Peraturan Mahkamah Agung tentang Hukum Acara Praperadilan yang telah diserahkan kepada Mahkamah Agung pada 2015, namun Mahkamah Agung menolak dengan alasan praperadilan sudah lengkap diatur di KUHAP.
Alasan ini menjadi tidak mendasar sebab faktanya, sebagaimana telah disebutkan di atas, praktik Praperadilan di Pengadilan Negeri menjadi tidak jelas. Dampaknya, Hakim tidak menerapkan kepastian hukum, sebab cara menguji dan hukum acara yang berbeda-beda, menimbulkan kerugian konstitusional bagi pencari keadilan.
Di sisi lain, banyak kejanggalan dan keanehan yang terjadi, seperti Pengadilan menguji permohonan seorang yang ditetapkan sebagai buronon atau DPO, padahal sebelumnya melalui SEMA No. 6 Tahun 1988 dan SEMA No. 1 Tahun 2012, Mahkamah Agung memiliki sikap yang begitu keras terhadap Buronan atau DPO, dimana Buronan dan DPO tidak diberikan hak untuk mengajukan upaya hukum.
Dalam usulan pengaturan hukum acara Praperadilan, ICJR juga memasukkan ketentuan larangan seseorang yang dinyatakan sebagai DPO untuk mengajukan permohonan Praperadilan. Sebab kondisi buronan menunjukkan bahwa seseorang tidak menghormati proses hukum yang berjalan.
Atas dasar itu, ICJR mendorong agar Pemerintah segera memperhatikan keadaan ini dengan mengambil langkah-langkah cepat dan responsif, salah satunya dengan cara menerbitkan aturan transisi berupa Peraturan Pemerintah untuk mengatur Hukum Acara Praperadilan yang lebih komprehensif.
Oleh Anggara, Peneliti dan Ketua Badan Pengurus ICJR