KedaiPena.com – Pakar IT, Marsudi Wahyu Kisworo menyatakan bahwa secara Undang-undang, yang sah dan legal adalah perhitungan suara manual berjenjang mulai dari TPS sampai ke pleno KPU pusat, bukan Sirekap.
“Yang masih ngeyel bahwa terjadi manipulasi suara via Sirekap silahkan baca UU Pemilu. Kalau masih mau ngeyel yo wis, kan kita ini hidup di negara merdeka,” kata Marsudi, Sabtu (17/2/2024).
Ia menyatakan dalam Sirekap, bisa saja terjadi “ketidak sesuaian” dengan C1.
“Saya tidak punya bukti itu “kecurangan”, karena informasi hanya dari medsos sana sini yang tidak bisa dipertanggungjawabkan sebagai bukti hukum yang sah. Dan jika ada yang bilang Sirekap untuk penggiringan opini ya monggo saja. Kan katanya saya Pakar IT, bukan Pakar Komunikasi Publik,” ujarnya.
Terkait kualitas Sirekap, Marsudi mengaku tidak tahu apakah Sirekap sudah melalui proses “software quality audit and assurance” atau belum.
“Karena menurut saya sebagai seorang software architect bersertifikat IASA, maaf ya developer Sirekap yang mungkin ada yunior-yunior saya, kualitas Sirekap itu menurut saya jelek banget,” ujarnya lagi.
Lebih lanjut ia menjelaskan alasannya, mengapa ia menyatakan bahwa kualitas Sirekap itu disebutnya jelek banget.
“Ada alasan saya sebagai orang luar dan dari luar menilai seperti itu. Pertama user experience (UX) nya rada-rada payah gitu, kayak dibuat oleh orang yang tidak pernah belajar ilmu UX ya. Tidak ada proses validasi terhadap data, misalnya bagaimana jumlah total suara di sebuah TPS bisa jauh melebihi standar,” kata Marsudi.
Ia menyatakan operator atau manusia bisa salah, tapi mestinya sistem punya imunitas untuk mencegah kesalahan atau kecurangan sekalipun.
“Ketua KPU Hasyim Ashari sendiri di media juga mengakui adanya masalah dan akan diperbaiki segera,” ungkapnya.
Kedua, mestinya seperti yang diusulkan olehnya waktu kasus Situng 2019 dulu, data sebelum dimunculkan di Web Sirekap mestinya divalidasi dulu terhadap C1nya. Hanya data yang valid dan sesuai dengan C1 yang dimunculkan di Web Sirekap, yang tidak valid atau tidak sesuai sementara disimpan dulu sambil dikoreksi atau divalidasi. Dengan demikian hanya data yang valid dan sesuailah yang tampil.
“Memang ini sedikit memperlambat progres data Sirekap, tapi mendingan lambat asal selamat daripada ngebut tapi benjut,” ungkapnya lagi.
Ketiga aspek sekuriti. Karena meskipun Sirekap bukan merupakan perhitungan suara yang sah, tetap perlu pengamanan yang baik.
“Beberapa kali terjadinya Sirekap tidak bisa diakses mungkin menunjukkan kelemahan pengamanan khususnya dalam aspek accessability. Keempat, ada beberapa hal lain namun tidak terlalu signifikan,” urai Marsudi lagi.
Namun, ia menyatakan Sirekap sebaiknya jangan dan tidak dihentikan atau dimatikan saja.
“Karena Sirekap diperlukan agar masyarakat sipil ikut mengawal perhitungan suara sehingga tidak terjadi kecurangan. Tanpa Sirekap kita tidak bisa mendapat informasi seperti yang beredar di berbagai medsos. Tetapi jika kita menemukan “ketidak sesuaian” antara Sirekap dengan C1, baik pakai mata atau ada yang canggih ngakunya pakai robot segala, jadikan ini sebagai bagian ketika mengawal perhitungan suara manual. Dan jika oleh KPU sudah diperbaiki ya sudah jangan dinyinyirin lagi,” ujarnya.
Marsudi mengimbau pada timses yang akan menggugat ke Mahkamah Konstitusi, sebaiknya memahami betul tentang UU Pemilu dan aplikasi Sirekap.
“Jangan sampai ngakunya ahli IT dari salah satu timses, menyebut algoritma saja salah, jadi logaritma. Karena beliau ini tokoh, kasihan murid-murid saya dan murid-murid teman saya yang capek-capek diajari algoritma tapi disesatkan dengan Logaritma. Kalau mau menggugat, fokuskan pada perhitungan suara manual berjenjang, jangan meributkan Sirekap. Sirekap sudah jelek, jadi jangan dijelek-jelekkan lagi ya,” pungkasnya.
Laporan: Tim Kedai Pena