KedaiPena.com – Bergabungnya Indonesia ke dalam BRICS (Brazil, Russia, India, China, South Africa) dinyatakan sebagai langkah yang tepat memiliki dimensi strategis dan implikasi luas. Jika pemerintah mampu melewati tantangan-tantangan dengan menggunakan strategi yang tepat.
Peneliti IDEAS, Muhammad Anwar memaparkan BRICS bukan sekadar aliansi ekonomi, melainkan juga forum strategis yang bertujuan mereformasi tatanan ekonomi dunia yang selama ini didominasi oleh negara-negara Barat. Dengan meningkatnya ketegangan geopolitik dan pergeseran kekuatan ekonomi dunia, BRICS menjadi wadah alternatif untuk mendorong keseimbangan kekuatan global.
“Bagi Indonesia, bergabung dalam aliansi ini berpotensi memperkuat posisi dalam forum internasional dan membuka akses terhadap sumber daya serta pasar yang lebih besar,” kata Anwar saat dihubungi, Kamis (9/1/2024).
Dari perspektif peluang, BRICS menawarkan akses ke institusi seperti New Development Bank (NDB), yang dapat memberikan pendanaan alternatif bagi proyek infrastruktur dan pembangunan, dengan syarat yang sering kali lebih fleksibel dibandingkan lembaga keuangan internasional seperti IMF atau Bank Dunia.
“Ini penting bagi Indonesia untuk mengurangi ketergantungan pada utang berbasis dolar AS, terutama di tengah volatilitas mata uang global. Jika dimanfaatkan dengan baik, pembiayaan ini dapat diarahkan pada proyek yang benar-benar menyentuh kebutuhan rakyat, seperti pembangunan infrastruktur dasar, elektrifikasi pedesaan, dan peningkatan akses pendidikan serta kesehatan,” ujarnya.
Tap, Anwar menegaskan ada tantangan yang harus diselesaikan oleh pemerintah. Yaitu, memastikan bahwa keterlibatan dalam BRICS tidak sekadar menjadi arena bagi elite untuk memperkuat posisi geopolitik tanpa dampak langsung bagi masyarakat kecil.
“Selain itu, ada tantangan lainnya. Pertama, dominasi negara besar di BRICS. Aliansi ini kerap dianggap sebagai forum yang didominasi oleh kepentingan negara besar seperti China dan Rusia. Risiko bagi Indonesia adalah bahwa agendanya mungkin terpinggirkan jika tidak memiliki strategi diplomasi yang kuat. Negara kecil sering kali menjadi pengikut dalam aliansi seperti ini, sehingga manfaat bagi Indonesia bisa menjadi terbatas,” ujarnya lagi.
Kedua, lanjutnya, masuknya Indonesia ke BRICS, berpotensi meningkatkan ketergantungan baru. Meski bergabung di BRICS dapat mengurangi ketergantungan pada Barat, ada risiko Indonesia menjadi terlalu bergantung pada China, yang telah lama menjadi mitra dagang utama dan pemberi pinjaman besar. Ketergantungan semacam ini dapat membatasi ruang gerak kebijakan domestik.
Ketiga, berpontensi meregangkan hubungan dengan Barat. Bergabungnya Indonesia di BRICS bisa saja dilihat sebagai upaya memihak pada blok non-Barat, yang dapat memengaruhi hubungan dengan mitra utama seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa. Jika tidak dikelola dengan baik, ini bisa berdampak negatif pada aliran investasi dan perdagangan dari negara-negara tersebut.
“Secara keseluruhan, potensi positif dari keikutsertaan Indonesia dalam BRICS memang lebih besar, terutama jika pemerintah mampu memanfaatkan peluang investasi, perdagangan, dan kerja sama strategis dengan cerdas. Namun, keuntungan ini sangat bergantung pada strategi Indonesia dalam memanfaatkan forum ini, memastikan bahwa kepentingan nasional tidak dikorbankan, dan menjaga keseimbangan diplomatik dengan negara-negara Barat,” pungkasnya.
Laporan: Ranny Supusepa