Artikel ini ditulis oleh Salamuddin Daeng, Pengamat Energi.
Masih ingat program pemerintah terkait kompor induksi? Kemana perginya program yang bagus ini agar segera ada langkah significant mengurangi konsumsi LPG 3 kg. Mengapa dibiarkan lenyap ditelan bumi?
Pertama, LPG 3 kg itu barang impor, harga impornya mahal, menyedot devisa negara dan membuat ekonomi indonesia disedot oleh bandar bandar minyak tanpa ampun. Impor LPG sekitar 4 miliar kilogram atau sekitar 35 triliunan.
Kedua, sebagian besar LPG ini adalah barang subsidi gila-gilaan, terus membengkak dari waktu ke waktu. Kata ESDM Sesuai APBN tahun anggaran 2023, subsidi LPG tabung 3 kg mencapai Rp117,85 triliun. Ngeri sekali. Tapi ESDM cuma bisa ngomong dan tidak ada langkah berarti untuk mengatasinya.
Ketiga, LPG ini berasal dari minyak bumi dan termasuk dalam kategori energi kotor. Seharusnya sisa minyak ini disuntikkan kembali ke bumi atau ditanam di dalam bumi dalam agenda pengurangan emisi karbon yang berasal dari minyak bumi.
Keempat, lebih dari 90 persen LPG yang diperdagangkan sebagai barang subsidi di Indonesia. Bagaimana mungkin 90 persen orang dijadikan sebagai kelompok masyarakat penerima subsdi. Seharunya LPG ini dikhususkan bagi usaha mikro dan masyarakat berpendapatan rendah.
Kelima, LPG telah menjadi bahan bancakan yang disalahgunakan dengan berbagi modus karena tidak memiliki mekanisme penyaluran yang terarah. Pemerintah dalam hal ini tidak mampu mengawasi alokasi subsidi dari APBN agar tepat sasaran. Pemerintah terkesan melakukan pembiaran.
Padahal gampang membuat orang mampu berhenti memakai LPG subsidi 3 kg, arahkan atau wajibkan mereka memiliki kompor induksi yang menggunakan listrik dan aman bagi lingkungan. Dengan demikian orang kaya di Jakarta terutama, mereka bisa berkontribusi dalam agenda transisi energy dan membantu negara menghemat devisa. Mengapa kompor induksi sampai terkena tendangan bibir?
[***]