WABAH Corona ini bukan hanya “peniti” belaka, melainkan juga adalah bagaikan “panah” untuk memecahkan, meletuskan, gelembung-gelembung perekonomian makro, daya beli, gagal panen petani, digital, dan korporasi.
Berdasarkan data terakhir, sebelum merebaknya wabah Corona, perekonomian kita memang sudah lesu. Secara teknis bila pertumbuhan ekonomi terus menurun dalam beberapa kuartal belakangan, ada kalangan yang berpandangan kita sebenarnya sudah di gerbang resesi.
Sebelum merebaknya Corona, PDB Indonesia tahun 2020 diperkirakan akan di bawah 5% (pertumbuhan PDB kuartal IV 2019 sudah di bawah 5%).
Defisit perdagangan masih besar. Sepanjang Tahun 2019, neraca perdagangan Indonesia defisit USD 3,19 miliar karena Ekspor migas dan non migas jeblok.
Ditambah lagi sekitar Desember 2019 hingga Februari 2020, angka penjualan retail anjlok hingga pertumbuhan minus (-) 0,5% dengan yang terdalam adalah penjualan cultural (-19,6%) & recreational goods (-12%).
Yang tak kalah anjlok juga informasi (-7%) dan komunikasi (-5,2%). Indeks saham gabungan/JCI minggu lalu turun (-) 11% (692 poin) bila dibandingkan posisinya awal tahun.
Larinya duit Rp500-an triliun dari pasar uang di Indonesia adalah meletusnya sebagian gelembung makro ekonomi. Goncangnya pasar finans. BI terpaksa mengguyur pasar uang dengan duit Rp100-an triliun untuk membeli surat utang Indonesia guna mencegah kurs Rupiah/USD tembus Rp 15.000.
Rp600an triliun cash pergi percuma begitu saja bisa menurunkan pertumbuhan perekonomian kita hingga 0,4%.
Di saat yang sama saat BI mengguyur Rp 100-an triliun, kabarnya pemerintah Korea Selatan akan mensubsidi Rp300-an triliun untuk menangani wabah Corona di negeri Ginseng tersebut dengan lebih efisien.
Sebelumnya Perdana Menteri Korea Selatan sudah ‘di-impeach‘ melaui petisi yang tembus satu juta penandatangan. Jangan sampai Pemerintah Indonesia salah langkah politik di tengah deru badai ekonomi ini.
Sebagai contoh, upaya pemerintah untuk ngotot menggolkan Omnibus Law malahan akan menjadi bahan bakar bagi krisis politik-l, yang akan membuat dampak pecah gelembung ekonomi semakin teramplifikasi.
Jadi memang pemerintah harus berhati-hati dalam Omnibus Law, itu menyakiti kaum buruh karena banyak dari kue ekonomi yang seharusnya mereka dapatkan dipotong negara. Juga meluasnya sistem kontrak dan outsourcing.
Bersamaan juga, rakyat kecil (termasuk buruh) yang jumlahnya mayoritas di Indonesia ini sudah dirampas sebagian kue ekonomimya di kantongnya yang “sudah kempis” dengan serangkaian kenaikan iuran jaminan kesehatan, tol, kenaikan cukai rokok hingga kopi sachet-nya tak lupa dinaikan harganya oleh Pemerintah.
Semakin siap rasanya, per awal Maret ini dikabarkan harga gula sudah melonjak 15%, kebutuhan pokok rakyat kita yang suka perayaan.
Namun, kue ekonomi paling besar selalu dimakan oleh para tycoon, dan kuasa oligarki dengan Omibus Law berbagai kemudahan pajak mereka, para taipan peroleh untuk rumah mewah, barang mewah, deviden, bahkan pajak korporat mau diturunkan juga ke 17% (dari saat ini 25%).
Juga jangan lupa, sebelumnya para taipan sawit telah terima subsidi triliunan dari Negara. Ketidak adilan semacam ini lah, memperkaya orang kaya dan mempermiskin orang miskin yang biasanya menggerakan rakyat di sepanjang jalannya sejarah bangsa.
Oleh Gede Sandra, Peneliti Pergerakan Kedaulatan Rakyat (PKR)