KETIKA kita meninggalkan era otoriter masa Orba, masuk ke era reformasi hingga saat ini, demokrasi kita acapkali diwarnai voting.
Pilpres, Pileg dan Pilkada semuanya kita lakukan dengan pemilihan langsung. Seluruh pemilik hak suara menentukan pilihan terhadap sejumlah calon yang tersedia.
Pilpres dan Pileg memilih calon yang ditawarkan oleh partai. Sementara Pilkada, diberi ruang dari jalur independen.
Sistem pemilu tersebut, menunjukkan nilai suara dari setiap WNI yang memiliki hak suara sama, apapun status sosialnya. Berbeda dengan Pilpres di negeri Uncle Sam (Paman Sam).
Praktek ini setidaknya sudah berlangsung 15 tahun. Lalu kemudian, apa yang terjadi di negeri ini dengan demokrasi voting pemilihan langsung tersebut?
Pemilihan langsung yang kita lakukan 15 tahun belakangan ini muncul gejala baru yaitu fenomena relawan.
Peran relawan menjadi sangat strategis karena menjadi salah satu faktor utama memenangkan kandidat dalam suatu kontestasi pemilu, baik legislatif maupun eksekutif.
Melalui relawan, bisa menembus sekat-sekat politik yang ada di tengah masyarakat. Karena itu para calon, langsung atau tidak langsung, berusaha mendekati, didekati dan atau membentuk komunitas-komunitas relawan.
Sebagai tindakan politik, relasi dengan relawan tetap tidak lepas dari konsep politik yang sudah tak terbantahkan, yaitu “tidak ada makan siang gratis”. Akibatnya, biaya politik pun bisa membengkak fantastis.
Para relawan pun acapkali lebih aktif dan lebih berani melontarkan pesan-pesan komunikasi politik dibanding dari kader partai pengusung atau pendukung.
Apa yang dilakukan relawan ini, langsung atau tidak langsung berpotensi bahkan pada aspek tertentu mampu menggeser peran kader dan simpatisan partai.
Padahal, relawan belum terinstitusionalisasi dalam pilar demokrasi. Sedangkan kader partai sudah berada pada institusi formal demokrasi. Inilah asalah satu yang harus kita diskusikan secara serius dalam membangun proses politik ke-Indonesia-an di negeri kita ini.
Lihat saja setelah selesai pemilu, apa yang terjadi? Sebagian relawan menempati posisi di dalam “bangunan” kekuasaan pemerintahan atau legislatif yang tersedia atau menciptakan unit baru dalam struktur kekuasaan untuk “menampung” mereka.
Ini bisa dimaknai sebagai politik “balas jasa” dan sekaligus sebagai “sinergisitas” kekuasaan di antara mereka.
Praktek yang sering terjadi, mereka saling mengawal dengan kolaborasi kekuasaan. Di satu sisi pola semacam ini bisa mengganggu demokrasi substansial, di sisi lain mampu menguatkan demokrasi prosedural yang penuh kepalsuan. Karena itu, dipastikan mengancam hakekat demokrasi itu sendiri.
Fakta juga menunjukkan bahwa pemilihan langsung yang sedang terjadi di Indonesia saat ini membutuhkan biaya yang sangat-sangat tinggi, bahkan seringkali diwarnai dengan politik uang.
Ungkapan “wani piro” di Jawa dan “togu-togu ro” di suatu daerah Sumatera, atau sebutan berbeda di daerah lain, sudah tidak asing terdengar sebagai simbol dari politik uang.
Ini sangat menyedihkan. Sejatinya demokrasi untuk mewujudkan kehendak rakyat berpotensi bergeser menjadi demokrasi untuk kepentingan bisnis pemilik modal (kapital).
Akhirnya, siapa yang memengang kekuasaan publik, tidak lain yaitu mereka pemilik uang. Demokrasi bergeser menjadi komunitas bisnis.
Realitas lain menunjukkan, sejak dan hingga kini negeri ini menerapkan pemilihan langsung, sudah ratusan kepala daerah, juga ratusan pula legislator dan beberapa menteri, kita “kirim” ke KPK karena dugaan tindak pidana korupsi.
Tidak sedikit pula di antara mereka sudah mempunyai hukum tetap dan sebagian sedang “diinapkan” di balik jeraji besi. Mengapa? Boleh jadi karena pengeluaran dalam suatu Pilkada, misalnya, bisa menelan puluhan hingga ratusan miliar rupiah.
Rasionalnya, dengan perhitungan yang sangat longgar saja, pendapatan dalam setahun sebagai kepala daerah paling tinggi 1 miliyar. Jadi, akumulasi lima tahun hanya 5 miliyar.
Defisit biaya yang dialami seorang kandidat yang sudah duduk di jabatan eksekutif dan legislatif mendorongya melakukan korupsi APBD, dan atau melacurkan kewenangannya dengan berbagai upaya, seperti menerbitkan berbagai Perda yang bisa mempersulit pelayanan publik, misalnya, perijinan.
Pada proses tranksaksional seperti ini muncul konsep birokratif koruptif yaitu, “diupayakan”, yang bermakna konotatif menguntungkan secara finansial para pihak yang berada dan berelasi dengan pusat kekuasaan.
Karena itu, menurut saya, negeri ini tidak boleh “berpangku tangan” apalagi “bertepuk tangan” melihat realitas politik yang sedang terjadi di Indonesia saat ini. Misalnya, ratusan pejabat publik di legislatif maupun eksekutif sudah dipenjara.
Oleh sebab itu, bangsa ini harus instrospeksi dan merenung mendalam, apa yang salah dengan sistem politik, utamanya kepemiluan kita secara keseluruhan di era reformasi ini.
Yang pasti ada “benang kusut” yang harus kita urai, tanpa memutus-mutus “benang” itu sendiri, sebagai pekerjaan rumah bagi negeri ini yang harus secepatnya kita tuntaskan.
Jika tidak, akan bisa menimbulkan lingkaran setan permasalahan politik secara terus menerus di tanah air.
Saya termasuk tidak begitu gembira melihat sebagian para pemimpin di negeri ini masuk penjara. Lebih baik, mari kita tata demokrasi ke-Indonesia-an dengan kembali ke Ideologi Pancasila, utamanya sila ke-empat dan alinea ke-empat Pembukaan UUD 1945.
Intinya, sistem politik kita sejatinya melakukan demokrasi permusyawaratan rakyat dengan perwakilan di semua tingkatan proses politik.
Bukan dengan demokrasi langsung atau voting-votingan ala liberal, si kuat di semua sektor mengalahkan si lemah di berbagai bidang sosial.
Untuk itu, wacana memunculkan kembali adanya Ketetapan MPR-RI (Tap MPR-RI) dan amandemen terbatas UUD 1945, bisa menjadi pintu masuk agar benar-benar negeri ini mewujudkan demokrasi musyawarah-mufakat untuk kebersamaan, ala ke-Indonesia-an.
Sebab, bangunan demokrasi ke-Indonesia-an ini memastikan bahwa hak-hak setiap individu dan kelompok minoritas dari aspek jumlah, tetap terakomodasi dan terutama terlindungi.
Dengan demikian, di negeri ini tumbuh subur inklusivitas dalam relasi antar sesama anak bangsa.
Otomatis ekslusivitas terkikis habis dengan sendirinya, sehingga tidak ada ruang bagi aktor politik yang membawa politik identitas sempit itu. Mari kita kembali ke demokrasi ke-Indonesiaan-an sebelum terlambat.
Sesungguhnya, demokrasi musyawarah ala Indonesia sudah sejak dulu dipraktekkan dalam kehidupan keseharian di semua bidang kehidupan sosial di tanah air.
Bahkan terapan demokrasi musyawarah ini sudah terjadi pada semua tingkakan sosial, mulai dari kelompok sosial terkecil (keluarga) hingga organisasi tertinggi (MPR-RI).
Baru-baru ini MPR-RI kita berhasil melakukan musyawarah dalam menentukan pimpinan.
Karena itu, dalam semua bidang kehidupan sosial, utamanya proses politik, sejatinya negeri ini mempraktekkan demokrasi musyawarah, bukan voting.
Untuk itu, para partai politik yang akan kongres atau munas ke depan, hindarilah politik voting. Kemudian, kedepankan politik musyawarah. Dengan demikian, demokrasi kita diwarnai nilai-nilai luhur ke-Indonesia-an kita. Semoga.
Oleh Direktur Eksekutif, Lembaga Emrus Corner Emrus Sihombing