KedaiPena.Com – Anggota DPR Fraksi Partai Demokrat Didik Mukrianto menyayangkan dan prihatin masih muncul ancaman dan teror kepada civitas akademi di era demokrasi seperti saat ini.
Hal tersebut disampaikan oleh Didik sapaanya saat menanggapi teror yang diterima oleh akademisi UII dan mahasiswa UGM setelah ingin menyelenggarakan diskusi bertema ‘Meluruskan Persoalan Pemberhentian Presiden Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan’.
“Seperti sekarang ini, apalagi forumnya adalah forum ilmiah yang dilakukan oleh kampus. Ke mana hadirnya negara? Ke mana pemerintah? Tugas aparat keamanan untuk melindungi rakyatnya,” ujar Didik, Sabtu, (30/5/2020).
Didik menegaskan, hanya negara yang anti demokrasi dan pemimpin yang otoriter menggunakan pendekatan keamanan dan membiarkan terjadinya ancaman dan teror.
“Sungguh memprihatinkan kalau di negara demokrasi ini, pemikiran, diskursus, diskusi, forum ilmiah, forum kampus dianggap sebagai sebuah ancaman. Memandulkan dan mematikan pemikiran kritis di era demokrasi sungguh melukai dan mengingkari semangat reformasi,” tutur dia.
Kalau hal demikian dibiarkan, kata Didik, maka tidak heran seandainya ada anggapan bahwa pemimpin kita sudah tidak mau mendengar rakyatnya, anti kritik dan takut bayangannya sendiri.
“Ingat salah satu transformasi besar bangsa kita saat ini adalah stabilitas politik dan keamanan yang semula dengan pendekatan keamanan, kini sedang bertransformasi menuju penegakan hukum,” papar dia.
Minta Jokowi Tegur Pendukung
Senada dengan Didik, Politikus Partai Demokrat Rachland Nashidik berharap agar Presiden Joko Widodo (Jokowi) dapat menegur pendukungnya setelah mencuatnya kabar teror dan intimidasi.
Sebelum teror kepada akademisi UII dan sejumlah panitia diskusi yang merupakan Mahasiswa Fakultas Hukum UGM, jurnalis Detikcom juga mendapatkan teror dan intimidasi serupa.
“Setelah kebebasan pers diteror. Kini giliran kebebasan akademis. Dan Pak Jokowi masih belum merasa perlu menegur pendukungnya?,” cuit Rachland dalam akun Twitter pribadi miliknya @RachlandNashidik.
Rachland lantas membandingkan apa yang terjadi di era Presiden Jokowi dengan masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ini.
“Dulu ada gerakan massa terorganisir (mulai 2007 hingga 2011) usung isu “Cabut Mandat SBY”. Tapi tak ada aktivisnya yang diteror, apalagi dibui. Berpendapat Presiden perlu mundur atau diganti, tak boleh dipidana. Apalagi bila kebebasan berpendapat itu disuarakan mimbar akademis,” ungkap Rachland.
Rachland menyebut, SBY dulu juga tak diam saja saat menghadapi gerakan massa “Cabut Mandat SBY”. Eks pimpinan partai Demokrat tersebut, lanjut Rachland, menyerang legitimasi gerakan dengan mengecamnya inkonstitusional.
“Pak Jokowi kebanyakan diam saja bila dikritik. Tapi dia biarkan pendukung dan aparatnya di bawah meneror bahkan memidana suara kritis,” tandas Rachland.
Laporan: Sulistyawan