UNTUK kesekian kali NU diuji, dengan kekuasaan duniawi. Politik praktis kembali menyeret NU untuk larut pada kontestasi 5 tahunan di negeri ini.
Khittah 1926 yang dicetuskan pada saat Muktamar Situbondo tahun 1984, seolah menjadi bias arti.
Lebih menyedihkan lagi “penghinaan” Jokowi dan koalisinya terhadap NU.
Rais Aam Syuriah yang seharusnya menjadi “Maha Guru” bagi Nahdliyyin, yang kalamnya seharusnya menjadi fatwa, dipaksa hanya menjadi cawapres.
Mengkerdilkan NU yang hari ini menaungi 91 juta lebih jamaahnya.
Padahal posisi Rais Aam dalam konteks sosial bernegara seharusnya lebih daripada itu, sebagai guru bangsa sebagai pengayom umat di republik yang heterogen ini.
Khittah 1926 seharusnya menjadi acuan bagi warga NU baik struktural maupun kultural untuk menegaskan kembali NU sebagai jamiyyah diniyah ijtimaiyah.
Dan memberi kebebasan bagi jamaahnya dalam memilih saluran politik, yang tidak bertentangan dengan prinsip dasar dan karakter ahlussunnah wal jamaah annahdliyyah.
Demi Allah saya tidak tega, melihat orang nomor wahid di NU nantinya harus bedebat diatas panggung, menjadi sorotan atau bahkan mungkin jadi bahan ketawaan.
Padahal seharusnya setiap ucapannya adalah jembatan langit dan bumi. Lantas siapa yang akan “membawa turun” rahmat langit bagi semesta alam ini?
Kyai Makruf, ngapunten… saya juga tidak tega kalau nanti panjenengan harus jingkrak-jingkrak diatas panggung kampanye bareng artis-artis hiburan, atau ikut flash mob pada saat CFD-an di Sudirman. Demi meraih simpati pemilih kebanyakan.
Kyai, siapa nanti yang memimpin kami tahlilan? ketika nanti panjenengan harus kampanye blusukan.
Kyai, siapa nanti yang ngimami istighotsahan? ketika nanti panjenengan harus ikut rapat tim pemenangan.
Kyai, siapa nanti yang akan menjadi penuntun harokah annahdliyah kami, ketika panjenengan harus keliling mendampingi Jokowi.
Kyai, bismillah saya pilih Prabowo-Sandi.
Oleh Chusni Mubarok
Jamaah NU, No. KARTANU/ 3507130812830006