Artikel ini ditulis oleh Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies).
Baca juga bagian satu: Satu-Satunya Jalan untuk Menyelamatkan Bangsa, Perubahan Total.
Rezim oligarki dan KKN semakin terbuka. Oligarki pengusaha diangkat menjadi penguasa, menjadi menteri dan pejabat lainnya seperti ‘kepala daerah’ otorita. Sebagai konsekuensi, banyak kebijakan berpihak kepada pengusaha, dan merugikan rakyat dan negara (APBN).
Misalnya kebijakan terkait penanganan pandemi covid-19, termasuk kebijakan penetapan harga tes covid yang sangat mencekik rakyat dan APBN, yang merupakan kebijakan tirani secara langsung, di mana penguasa merangkap pengusaha pemilik perusahaan tes covid.
UU Cipta Kerja juga berpihak kepada pengusaha, dengan alasan penciptaan lapangan kerja, meskipun merugikan kaum pekerja. UU ini akan menghambat upaya pemberantasan kemiskinan, dan akan memperlebar kesenjangan sosial: kaum kaya semakin kaya, kaum miskin tetap miskin.
Tidak heran, jumlah orang kaya di masa pandemi malah meningkat. Mereka menikmati proyek anggaran bernilai puluhan hingga ratusan triliun rupiah. Seperti proyek kartu prakerja, proyek bantuan sosial, atau proyek atas nama pemulihan ekonomi nasional, yang sebagian besar dinikmati oleh sekelompok kecil elit, baik secara sah maupun tidak sah.
Puncaknya rencana perubahan UU pidana (RKUHP) yang sekarang sedang diajukan kepada DPR. RKUHP ini ditengarai banyak pihak semakin represif terhadap kebebasan berpendapat, berpotensi membungkam suara kritis rakyat terhadap Eksekutif dan Legislatif, yang tentu saja melanggar hak Kedaulatan Rakyat.
Seiring perjalanan waktu, cengkeraman oligarki juga semakin kuat dan dalam. Rakyat semakin tertindas. Karena itu, tidak mungkin berharap duet oligarki partai politik dan oligarki pengusaha mampu memperbaiki nasib bangsa ini.
Pemilu 2024 pasti akan berakhir sama. Rakyat pasti akan kecewa lagi. Rakyat semakin terpinggirkan, hanya dijadikan alat pelengkap demokrasi artifisial.
Hukum tidak berjalan. Moral bangsa rusak parah. Para elit partai politik tidak malu mempertahankan kekuasaan dengan melanggar norma dan etika, bahkan melanggar hukum. Mereka orkestrasi pembentukan opini untuk mempromosikan capres tertentu, capres oligarki, yang semuanya akan sama saja tidak bermanfaat bagi rakyat banyak, tidak bermanfaat bagi kesejahteraan rakyat.
Para lembaga survei tidak malu, dan tidak bermoral, membentuk opini dan mendongkrak elektabilitas capres tertentu, meskipun sebenarnya yang bersangkutan sedang bermasalah hukum.
Para media dan pers yang seharusnya menjadi kekuatan demokrasi dan filterisasi karakter pemimpin nasional, yang seharusnya memberi kritik keras tetapi objektif, khususnya kepada capres cacat moral, malah ikut terhanyut dalam pembentukan opini tersebut.
Para relawan dan pendukung, termasuk buzzer, secara tidak malu dan tidak bermoral berada di garda terdepan mendukung capres yang bermasalah hukum, yang sangat tidak pantas menjadi pemimpin bangsa ini. Mereka sejatinya adalah pengkhianat bangsa dan pengkhianat Kedaulatan Rakyat.
Mereka secara tidak bermoral menyuarakan penundaan pemilu atau 3 periode jabatan, yang jelas-jelas melanggar UUD.
Maka itu, rakyat tidak bisa berharap para oligarki dapat memperbaiki nasib bangsa ini, tidak bisa berharap bangsa ini menjadi lebih baik dari sistem politik persekongkolan ini. Rakyat tidak bisa berharap oligarki memikirkan nasib rakyat, dan kesejahteraan rakyat.
Artinya, rakyat wajib mengubah nasibnya sendiri, menciptakan keadilan dan kemakmuran bagi dirinya sendiri, dengan cara melakukan perubahan total untuk merebut kembali Kedaulatan Rakyat yang dirampas oleh para oligarki partai politik dan pengusaha. Artinya, rakyat harus melawan hegemoni oligarki.
Perubahan total tersebut harus diperjuangkan, direbut, dengan cara apapun. Hanya dengan cara ini, nasib bangsa Indonesia dapat berubah. Tanpa perubahan total maka nasib bangsa Indonesia nisacaya akan semakin terjerumus ke dalam jurang kehancuran.
Pilihan ada di tangan rakyat. Berdiam diri atau bangkit dan rebut kembali kedaulatan rakyat.
[***]