Artikel ini ditulis oleh Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies).
Pemilihan umum (pemilu) semakin dekat, 14 Februari 2024. Indonesia segera mempunyai pemerintahan baru: Presiden baru, DPR baru. Masyarakat antusias. Berharap Indonesia dan nasib rakyat menjadi lebih baik, dan lebih sejahtera.
Setiap lima tahun, rakyat berharap. Setiap lima tahun, rakyat kecewa berkepanjangan, menderita sampai pemilu berikutnya.
Setelah 77 tahun merdeka, nasib kebanyakan rakyat Indonesia masih berkutat dengan kemiskinan.
Menurut data Bank Dunia, jumlah rakyat miskin Indonesia dengan pendapatan di bawah Rp30.517 per hari per orang, atau 5,5 dolar AS (2011 PPP), mencapai 150,2 juta orang (2018), sekitar 56,1 persen jumlah penduduk.
Jumlah dan persentase rakyat miskin ini tertinggi di ASEAN, dan salah satu tertinggi di dunia.
Momentum reformasi sempat menjadi tumpuan harapan bangsa. Tetapi, ternyata hanya harapan hampa. Masyarakat sipil yang merupakan kekuatan utama dalam menumbangkan rezim orde baru kini terpinggirkan.
Tidak berdaya. Kedaulatan rakyat dibajak oleh sekelompok kecil elit oligarki. Dalam sekejap, Indonesia kembali menjelma menjadi negara penguasa, negara tirani.
Pemilihan Presiden (Pilpres) langsung (dipilih rakyat) menciptakan pemerintahan tirani. Pemerintahan yang bersekongkol dengan Legislatif (DPR) dan Yudikatif (Mahkamah Konstitusi).
Supremasi hukum mati: hukum bukan berdasarkan keadilan; hukum berpihak kepada pemegang kekuasaan dan uang.
Seiring berjalannya waktu, rakyat semakin tidak berdaya. Kedaulatan rakyat, sebagai tujuan reformasi, semakin dipreteli.
Kelompok elit semakin mencekik bangsa, menjalankan sistem politik persekongkolan, atau kartel politik.
Kedaulatan rakyat dibajak partai politik. Mereka menguasai Legislatif (DPR) dan Eksekutif (pemerintah), melalui UU Pemilu beraroma kartel politik dan tirani.
Yaitu, presiden hanya dapat dicalonkan oleh partai politik, atau gabungan partai politik, dengan perolehan suara nasional minimal 25 persen, atau perolehan kursi DPR minimal 20 persen: presidential threshold.
Ketentuan ini jelas melanggar Kedaulatan Rakyat yang diamanatkan (Pembukaan) UUD. Melanggar prinsip kedaulatan rakyat dalam arti universal.
Peraturan tirani tersebut menjadi tahap awal pembajakan kedaulatan rakyat, untuk kemudian dilengkapi dengan menguasai yudikatif, menarik Mahkamah Konstitusi menjadi bagian tirani.
Gugatan demi gugatan terhadap presidential threshold dimentahkan Mahkamah Konstitusi, dengan alasan rakyat tidak ada hak menggugat, tidak ada legal standing: hanya partai politik yang berhak mengubah peraturan presidential threshold.
Kedaulatan rakyat resmi dibajak partai politik bersama Mahkamah Konstitusi.
Era reformasi menciptakan pengusaha menjadi kaya raya. Mereka menguasai kekayaan alam Indonesia.
Orang kaya baru bermunculan dari sektor mineral dan batubara, kelapa sawit dan perkebunan lainnya, menguasai impor bahan pangan seperti gula, kedelai, gandum, produk hortikultura, dan masih banyak lainnya lagi.
Sedangkan rakyat di daerah pertambangan dan perkebunan dibiarkan miskin, berkutat dengan bencana alam akibat ekspolitasi kekayaan alam dan penggundulan hutan.
Para pengusaha tersebut kemudian menjelma menjadi kekuatan politik penentu, menjadi oligarki pengusaha, berkolaborasi dengan oligarki partai politik.
Pilpres 2014 menjadi test case pertama. Sukses besar. Kebijakan rezim oligarki memberi keuntungan besar kepada kedua kelompok oligarki tersebut, didukung penuh DPR, dan dijaga ketat MK.
UU pengampunan pajak (tax amnesty) yang diberlakukan dari Juli 2016 hingga Maret 2017 sangat menguntungkan kedua oligarki, menguntungkan pengusaha dan anggota partai politik. Pemutihan uang gelap.
Sukses besar 2014 harus berlanjut di 2019, dengan segala upaya dan cara. Pilpres 2019 hanya ada dua capres lagi, capres yang sama.
Kebijakan pro-oligarki kini semakin terang-terangan, tanpa malu. Oligarki berpesta pora, rakyat jelata semakin sengsara.
KPK kemudian dilemahkan, tanpa ada rasa bersalah, untuk kepentingan para (calon) koruptor, para penyelenggara negara, dari Eksekutif, Legislatif hingga Yudikatif, beserta para pengusaha korup.
Pemberantasan korupsi dimandulkan. Fakta persidangan korupsi diabaikan. Beberapa nama yang disebut terlibat dalam kasus korupsi masih bebas.
Bahkan beberapa nama tersebut, tanpa bermoral, dinominasikan sebagai calon presiden. Penyelidikan dan penyidikan dugaan korupsi para pemimpin partai politik berjalan ditempat.
Dugaan KKN yang melibatkan pejabat negara juga terhenti. Para koruptor merajalela, rakyat menanggung derita.
[***]