HATTA Taliwang, mantan anggota DPR-RI dan yang menjadi admin sejumlah WAG (WhatsApp Group) kemarin menyindir lewat japri. Hatta mengatakan, pasti saya sedang menggarap proyek besar, sehingga tidak pernah lagi memposting tulisan di WAG yang dia bentuk.
“Koq tulisan anda justru diposting orang lain?”, bertanya politisi PAN asal NTB ini.
Kebetulan “Catatan Tengah” yang mengulas kekecewaan Panglima TNI soal intelejens, diposting oleh teman di WAG yang berbeda.
Karena sedang sibuk, saya jawab seadanya, sesuai yang terlintas tiba-tiba di pikiran. Dan untuk menjaga keakraban, di tengah jawaban itu saya selipkan kalimat yang bisa membuatnya tersenyum atau tertawa.
Namun sebetulnya jawaban itu tidak jujur. Jawab itu dari pikiran, tetapi tidak berasal dari hati. Dari hati, itulah yang sesunggunya. Dan yang sesungguhnya, saya memang enggan memposting di WAG asuhan sahabatku ini.
Alasannya, beberapa anggota belakangan ini menjadi sangat vokal dan cenderung emosional. Terutama ketika menghadapi atau mengomentari soal Ahok, Gubernur DKI Jaya.
Tak jarang, kata-kata tidak beretika, kasar seperti yang digunakan oleh Ahok juga dilakukan kembali oleh mereka yang sedang emosional.
Dan kalau ada yang menambahi komentar dengan aroma panas, komentar seterusnya semakin lebih panas lagi.
Secara subyektif saya mencatat, keadaan seperti ini sudah sangat tidak sehat. Keadaan memaki Ahok dan menempatkan Ahok sebagai representase umat non-Muslim, sangat tidak beralasan.
Pertama dalam keberadaannya di DKI 1. Sejatinya, Ahok menjadi Gubernur karena faktor sejarah. Dan sejarah keberadannya sebelum dia menjadi DKI 1, karena Ahok dicalonkan oleh Partai Gerindra, partainya Pak Prabowo Subiyanto.
Kedua dalam pencalonan di Pilkada 2017 yang mencalonkannya bukanlah Partai Kristen. Dan para pimpinan Parpol yang mendukung pencalonan Ahok, tidak satupun yang beragama Kristen.
Ketiga belum pernah ditanyakan kepada masyarakat non-muslim, apakah semuanya sejalan dan sepikiran dengan Ahok ?
Keempat, tiba-tiba lupa yang mau ditulis. Tapi yang pasti, gara-gara satu Ahok, jutaan orang Kristen menjadi korban.
Soal Ahok tidak mencerminkan kekinian umat Kristen, sudah pernah saya singgung. Di WAG yang didirikan Hatta Taliwang, saya merupakan anggota pertama yang memberi isyarat.
“Kali ini kalian menghujat Ahok yang punya double minority complex seperti saya. Bedanya cuma sedikit. Ahok Cina Kristen, saya Manado Kristen”, tulis saya di WAG PN1.
Namun beberapa teman langsung mengatakan, tidak akan berkembang seperti itu.
Saya juga pernah menulis bahwa saya ragu dengan kekristenan Ahok. Terutama melihat caranya berbicara, memarahi orang lain atau bawahannya.
“Jangan-jangan dia cuma di KTP-nya saja yang Kristen”. tulis saya beberapa waktu lalu .
Mengapa kecurigaan itu saya layangkan? Karena sesuai tutur kata Ahok – terutama kalau sudah marah, tidak ada bermuatan bahasa kasih.
Sejauh ini saya belum pernah menemukan sikap Ahok yang mencerminkan kepribadiannya yang berdasarkan kasih. Setahu saya yng diajarkan di katekisasi, seorang yang mau mengaku Kristen, menjadi pengikut Kristus, haruslah penyabar dan tidak arogan.
Jadi hampir semua “persyaratan Kristen” tidak saya temukan dalam penampilan Ahok. Lantas dimana alasan untuk “meng-Ahok-an” semua warga Kristen?
Keraguan saya bahwa Ahok seorang (bukan) Nasrani, dibuktikan dengan pernyataannya yang cukup kontroversial. Ahok mengatakan: “Tuhan pun kalau salah akan saya lawan”.
Saya sangat terkejut dan mengatakan, sehebat apapun dia (Ahok) tak patut saya jadikan teman. Apalagi dukung menjadi Gubernur. Tidak usah di Jakarta. Di daerah asal saya, Manado, Sulut, yang mayoritas Kristen, Ahok tidak pantas diangkat sebagai Orang Nomor Satu.
Pasalnya, dia sudah menomor duakan Tuhan Allah. Tuhan yang disembah oleh semua umat, sudah ditempatkannya di posisi bawah.
Hanya orang yang tidak beragama yang boleh menganggap seperti Ahok.
Tuhan bisa berbuat salah terhadap umatnya. Apapun yang dilakukan Tuhan kepada kita, tak boleh kita kecam dan salahkan.
Tapi sudahlah.Yang ingin saya pertegas muatan agama dalam urusan Ahok, sudah begitu besar. Kecaman terhadap Ahok sudah keluar dari konteks maka tidak heran jika Ahok merasa tetap benar.
Kecaman terhadap Ahok sudah menjadi seperti bola liar. Sementara dari kalangan pemerintah yang bertugas mencegah terjadinya konflik sosial, tidak berbuat apa-apa.
Saya juga bertanya, tidak adakah pantauan Kementerian Agam terhadap kegaduhan dalam soal agama yang ditumbulkan Ahok dan para penentangnya ?
Apa sebenarnya manfaat dari dihadirkannya Kementerian Agama? Apakah kementerian ini hanya mengurus masalah penyelenggaraan haji dan kuotanya? Tidak bolehkah Kementerian Agama turun tangan memberikan pencerahan?
Saya mencatat pertentangan dalam bidang agama sudah sangat menonjol, tetapi Kementeran Agama hanya berdiam diri. Membiarkan dan seolah menganggap persoalan yang jadi perdebatan dan menimbulkan ketegangan, merupakan bidangnya orang politik.
Ini menandakan Kementerian yang satu ini, juga tidak cukup kritis. Mengurus kementerian seolah seperti hanya boleh berpaku pada text book.
Jika situasi Indonesia diukur dari posting di WAG yang saya maksud dan perdebatan ke soal sektarian terus menajam, maka kelompok minoritas di Indonesia, sudah tidak patut diberi kesempatan untuk hidup di NKRI.
Seperti keluhan Victor Manahara Tampubolon yang juga seorang wartawan mengeluh. Dia menulis di Facebook-nya menulis : “Bagaimana minoritas di sini semakin ngga enak. Ngomongin agama mayoritas, semakin takut. Salah-salah dituduh penistaan agama. Beda dengan yang beragama mayoritas, bisa bebas membicarakan agama minoritas”.
Saya sadar meminta para pihak menurunkan tensi atas situasi seperti ini tidak akan menuai hasil yang diharapkan.
Satu-satunya cara hanyalah membiarkan dan membiarkan.
Biarkan saja sampai akhirnya terjadi sebuah petaka. Rumah Indonesia mengalami kebakaran, dan alat pemadam tidak tersedia.
Saya tidak percaya jika Rumah Indonesia kebakaran, NKRI mengalami perpecahan apalagi kehancuran dan itu disebabkan oleh “faktor Ahok” lantas ada satu pihak yang bisa memetik manfaat positif.
Semua pasti rugi.
Mungkin terlampau mengada-ada jika kondisi Indonesia disamakan dengan bekas Yugoslvia. Lagi pula, semakin sering pengalaman Yugoslavia itu disebut, semakin banyak yang bersikap defensif. Kita lihat saja.
Oleh Derek Manangka, Jurnalis Senior