Artikel ini ditulis oleh Abdul Rohman Sukardi, Pemerhati Sosial dan Kebangsaan.
Judi online naik daun. Menjadi isu hangat. Perputaran transaksi dan sebaran keterlibatannya mencengangkan banyak pihak.
PPATK merilis temuannya. Terdapat 121 juta transaksi judi online pada tahun 2022. Nilainya 155 T. Meningkat drastis pada tahun 2023. Menjadi 327 T.
Pertengahan tahun 2024 belum terlewati. Baru Kuartal I. Angka transaksinya sudah tembus 101 T.
Siapa saja yang terlibat?.
Artis, influencer, aparat penegak hukum, jurnalis, anggota DPRD, pelajar dan mahasiswa. Bukan hanya satu dua orang. Akan tetapi ribuan. Para pendidik, guru. Juga terjerat judi online.
Nilai transaksi dan sebaran pelaku menggambarkan negara ini darurat judi. Modusnya tidak lagi konvensional dan manual.
Teknologi informasi memungkinkan judi dilakukan dari setiap kamar tidur. Setiap saat. Asal ada koneksi internet.
Kenapa bisa terjadi. Bukankah peraturan sudah dibuat. Satgas juga sudah dibentuk?.
Pasal 303 KUHP dan Pasal 303 BIS KUHP. UU No. 7 Tahun 1974. UU No. 11 Tahun 2008 tentang UU ITE. Didalamnya mengatur transaksi elektronik yang dilarang. UU ini mengatur larangan perjudian.
Melalui Keppres 21 Tahun 2024, Presiden Joko Widodo membentuk Satgas Pemberantasan Judi Online. Keanggotaan satgas berbagai unsur. Kominfo, TNI, Polri, Kejaksaan Agung, PPATK dan BIN. Satgas ini memang masih baru. Dibuat 14 Juni 2024.
Juga sudah dibentuk AKSUS. Aksi Cepat Tanggap Satgas Judi Online. Merupakan wadah atau saluran pelaporan/pengaduan kasus judi online.
Pelaporan itu dalam bentuk aduan laman konten dan berbagai saluran media sosial.
Terungkapnya beragam kasus judi online akhir-akhir ini tentu tidak lepas dari kerja Satgas itu. Walau efektifitas jangka panjangnya masih harus ditunggu. Seberapa mampu menghadang gelombang judi itu.
Mencermati konstruksi peraturan dan kelembagaannya, satgas itu bersifat responsif. Tidak didesain progresif.
Tidak mustahil akan selalu kalah langkah dengan modus kejahatan judi online yang terus berkembang.
Terdapat bentangan jarak lebar antara keberadaan instrumen hukum dengan efektifitas penegakannya. Tersedianya instrumen hukum belum menjamin implementasinya efektif. Ada 4 hal kuci efektifitas penegaan hukum itu.
Pertama, kualitas peraturan. Kedua, kualitas SDM APH (Aparat Penegak Hukum). Ketiga, fasilitas penunjang penegakan hukum. Keempat, kesadaran hukum masyarakat. Keempatnya harus mampu bersaing dengan kecepatan perkembangan teknologi kejahatan. Perkembangan modus operandi kejahatan. Selama ini keempatnya selalu kalah cepat.
Perkembangan modus kejahatan sering mendahului perkembangan modus kejahatan. Peraturan menjadi tumpul. Tidak berguna. Tidak bisa menjangkau modus baru itu. SDM APH juga sering kalah dengan kemampuan SDM pelaku kejahatan. Penguasaan terhadap suatu modus, pelaku kejahatan jelas di depan.
Begitu pula ketersediaan peralatan. Organisasi kejahatan jauh lebih cepat mengembangkan teknologi pendukungnya. Begitu pula kesadaran masyarakat. Masyarakat anti kejahatan selalu kalah cepat dalam menyadari hadirnya modus kejahatan baru.
Setidaknya terdapat satu celah, black hole (lubang hitam) dalam satgas itu. Tidak adanya lembaga pengkaji perkembangan modus kejahatan. Lembaga yang bisa secara akurat menyodarkan beragam kemungkian varian modus-modus baru dalam kejahatan. Termasuk strategi antisipasinya.
Mencermati tingkat kedaruratannya, peraturan dan satgas anti judi perlu dibuat progresif seperti densus anti teror. Agar tidak hanya menjadi instrument penegakan hukum yang bersifat rensponsif. Akan tetapi juga memiliki progresivitas.
Agar efektif menghadang perkembangan teknologi kejahatan judi online. Karena ia bergerak secara super progresif.
[***]