SEJAK kemarin (26 April 2018), publik antusias untuk menyambut kesediaan Dr. Rizal Ramli menerima tantangan dari Presiden Jokowi berdebat secara terbuka dengan Menkeu Sri Mulyani tentang utang Indonesia.
Beberapa organsasi bahkan telah mengajukan forum untuk memfasilitasinya. Juga ada media yang telah sanggup untuk meliputnya.
Antusiasme publik untuk menantikan terselenggaranya diskusi terbuka tentang persoalan utang yang selama ini menjadi pembicaraan di publik ini akan menjadi panggung yang menarik karena bisa menghadirkan dua sudut perspektif yang berbeda.
Penjelasan pemerintah tentang kondisi utang Indonesia selama ini bisa dikatakan cenderung searah dari pihak pemerintah saja.
Penjelasan yang searah ini tak sedikit kemudian menimbulkan persepsi publik bahwa pemerintah terkesan ngeles dari berbagai kritik yang esensinya meminta pemerintah untuk lebih waspada.
Bagaimana tidak waspada, Presiden Jokowi sendiri telah menyatakan bahwa sejak dirinya dilantik, beban bunga utang setiap tahunnya sebesar Rp 250 triliun.
Tentu saja, jika ditambah dengan beban cicilan pokok utang yang dibayar setiap tahunnya dari APBN akan lebih besar lagi.
Meski data cicilan pokok utang yang dibayar tiap tahun lewat APBN ini jarang terungkap secara terbuka oleh pemerintahan Jokowi, menurut beberapa sumber, jumlahnya cicilan pokok dan bunga utang yang dibayar oleh APBN, jumlahnya Rp 650 triliun.
Anggaran untuk bayar cicilan dan bunga utang ini lebih besar dari anggaran pendidikan ataupun anggaran pembangunan infrastruktur di tiap tahunnya.
Namun sayang, beberapa pihak pendukung pemerintahan Jokowi (lebih tepatnya buzzer politik sih) justru merendahkan pesan Presiden Jokowi yang meminta untuk diadakan debat terbuka tentang utang Indonesia tersebut.
Buzzer-buzzer seperti Yustinus Prastowo yang mencari-cari perhatian untuk menggantikan Sri Mulyani berdebat dengan Rizal Ramli, adalah salah satunya. Atau Rustam Ibrahim yang lebih suka monolog dalam membuat framing opini di twitter selama ini, adalah salah duanya.
Padahal, kalau para pendukung pemerintahan ini memahami dibalik pesan Jokowi untuk debat terbuka tentang utang dengan Sri Mulyani ini adalah bagian dari usaha untuk berlaku adil dalam kebijakan publik.
Toh semua juga mengerti jika Menkeu Sri Mulyani adalah bagian dari pemerintahan sebelum Jokowi yang mewariskan beban bunga utang sebesar Rp 250 triliun dalam APBN setiap tahunnya.
Sehingga wajar jika Jokowi menginginkan agar para pihak yang selama ini punya sikap kritis atau memiliki pandangan alternatif terhadap persoalan utang ini bisa menyampaikan pandangannya secara langsung kepada penambil kebijakan.
Dalam konteks ini, Jokowi tepat. Meminta Menkeu Sri Mulyani untuk menghadapi secara langsung pandangan alternatif tersebut.
Tapi anehnya, buzzer-buzzer pendukung pemerintah Jokowi tidak paham. Buzzer-buzzer seperti Yustinus Prastowo justru coba-coba untuk mengajukan diri menggantikan Sri Mulyani yang diperintahkan Jokowi untuk melayani debat terbuka tentang utang Indonesia, itu sesungguhnya tak lebih dari usaha untuk menghindarkan junjungannya (Sri Mulyani) dari pengadilan oleh publik.
Tentu saja para pemuja Sri Mulyani ini akan mencari berbagai cara agar junjungannya tidak menanggapi tawaran yang diterima oleh pak Rizal Ramli. Daripada cari-cari jalan ngeles karena tidak berani debat terbuka dengan Rizal Ramli, lebih baik para pemuja tersebut menyiapkan mental Sri Mulyani agar punya sikap ksatria. Katanya menteri terbaik se Asia, se Asia Pasifik, kok diminta Presiden untuk beri penjelasan terbuka dalam forums ilmiah malah tidak berani?
Sedangkan Untuk Yustinus Prastowo, daripada debat dengan Rizal Ramli, lebih baik dengan saya saja! Masa pengamat perpajakan mau debat makro ekonomi dengan ekonom kelas internasional seperti Rizal Ramli.
Oleh Arta, Sarjana Ilmu Pemerintahan Unpad