SEBELUMNYA kami ingin memuji inisiatif dan komitmen Presiden Jokowi, yang telah secara masif melakukan pembangunaninfrastruktur di luar Pulau Jawa.
Hasilnya benar-benar nyata kurangi ketimpangan antara Jawa dengan luar Jawa. Suatulegacy Jokowi yang harus sangat kita apresiasi.
Namun, apakah pembangunan infrastruktur benar-benarmerupakan prioritas utama belanja pemerintahan Jokowi? Kami ragu. Karena setelah dilakukan ranking terhadap besaran belanja APBN, ternyata faktanya tidak demikian.
Dalam APBN tahun 2017, ternyata ranking pertama belanja ditempati oleh pembayaran bunga, pokok, dan cicilan utang,yang bila dijumlahkan mencapai Rp486 triliun. Sementara, ranking kedua ditempati oleh belanja pendidikan sebesar Rp 416 triliun. Sedangkan belanja infrastruktur sendiri malah berada di ranking ketiga, sebesar Rp 387,3 triliun.
Artinya APBN kita sebenarnya masih didesain untuk memprioritaskan pembayaran utang, bukan untuk pembangunan infrastruktur. Menjadi terlihat, kepada siapa sebenarnya si pendesain APBN.
Bukannya kami menolak pemerintah berutang untuk membiayai pembangunan. Namun, sejarah membuktikan seringkali utang dipergunakan secara kurang efisien untuk memacu pertumbuhanekonomi.
Rezim otoriter Suharto memerlukan utang USD 48,8 miliaruntuk menjaga pertumbuhan ekonomi rata-rata positif 6% selama 32 tahun.
Pemerintahan Habibie memerlukan USD 19,6miliar untuk mengangkat perekonomian dari minus (–) 9% keminus (-) 4,5%. Pemerintahan Gus Dur mampu mengurangiutang USD 4,15 miliar untuk mengangkat perekonomian dariminus (-) 4,5% ke positif 4%.
Pemerintahan Megawati memerlukan utang USD 64,39 miliar untuk menjaga pertumbuhan ekonomi di kisaran 4% selama 3 tahun. Pemerintahan SBY memerlukan USD 158,8 miliar untuk menjaga pertumbuhan ekonomi di kisaran 4% hingga 6% selama10 tahun.
Dan terakhir, pemerintahan Jokowi memerlukan USD 32,1 miliar juga hanya untuk menjaga pertumbuhan ekonomi di kisaran kurang dari 5% selama 3 tahun terakhir.
Berdasarkan uraian barusan, jelas contoh yang terbaik terjadi pada era Presiden Gus Dur. Karena saat itu pertumbuhan ekonomi dapat terpacu, tetapi utang pemerintah malahberkurang.
Ternyata pernah ada masanya Indonesia membangun tanpa menambah utang, bahkan menguranginya. Di era tersebut, pengelolaan sebagian utang dilakukan dengan teknik debt swapt dan restrukturisasi.
Dengan teknik debt swapt, pemerintah Indonesia saat itu mendapatkan pengurangan utang dari Eropa setelah berkomitmen untuk melakukan konservasi hutan di Indonesia.
Hal ini dapat saja kembali dilakukan oleh pemerintah Indonesia sekarang, mengingat para politisi Eropa juga sedang giat-giatnya berkampanye pelestarian lingkungan hidup.
Dengan teknik restrukturisasi utang, pemerintah Indonesia saatitu mendapatkan hadiah dibangunkan Jembatan Pasopati di Bandung dari pemerintah Kuwait secara cuma-cuma. Hal yang juga seharusnya dapat dilakukan di era pemerintahan sekarang.
Selain itu, yang juga dapat dipelajari dari era Gus Dur adalahstrategi membangunnya yang menggunakan teknik revalusasi aset dan sekuritisasi aset. Kedua teknik yang sebenarnya sudah sering disampaikan oleh Presiden Jokowi sebagai bagian dari Jokowinomics, hanya sayang para pembantunya di tim ekonomi seolah tidak tanggap dalam mengerjakannya.
Revaluasi aset sudah masuk dalam Paket Kebijakan Ekonomi V yang diluncurkan pada Oktober 2015, hanya masih dilakukan parsial (belum seluruh BUMN melakukannya). Dengan teknik ini, pemerintah berhasil menambah pemasukan pajak Rp 20,1 triliun dan menambah nilai aset 79 BUMN dari Rp 4.577 triliunke Rp 5.395 triliun (bertambah Rp 815 triliun). Masih sekitar 36 BUMN yang belum melakukan revaluasi aset, termasuk Pertamina.
Kemudian sekuritisasi aset sebagai tahapan berikutnya setelahrevaluasi aset. Bukan seperti pandangan sebagian besarpengamat, sekuritisasi bukanlah menjual aset. Sayang, para pembantu Presiden seperti kurang paham baik dalam menjelaskannya ke publik maupun mempercepat pelaksanaan teknik ini.
Padahal Presiden Jokowi sering menyebutkan, bahwa dari total biaya kebutuhan pembangunan infrastruktur sebesar Rp 4.900 triliun, pemerintah hanya mampu memenuhi Rp 1.500 triliun. Darimanakah sisanya sebesar Rp3.400 triliun kita dapatkan? Ya, tentu dari sekuritisasi dan revaluasi aset.
Oleh Peneliti Lingkar Studi Perjuangan (LSP), Gede Sandra