KedaiPena.com – Penyelaman di laut dalam yang dilakukan oleh para ahli kelautan dunia, menunjukkan adanya sampah plastik yang ditemukan pada kedalaman di bawah 7 ribu meter. Dugaan kuat, di dasar perairan Indonesia pun bisa ditemukan sampah plastik. Walaupun, hingga saat ini, belum ada peneliti kelautan Indonesia yang melakukan pembuktian pada hipotesis tersebut.
Anggota Advisory Board of Korea – Indonesia Marine Technology Cooperation Research Center (MTCRC) Widodo S. Pranowo menyebutkan bahwa kemungkinan adanya sampah di dasar perairan Indonesia itu memungkin.
“Tapi kita belum memiliki kemampuan eksplorasi hingga kedalaman dasar yang ribuan meter. Indonesia belum memiliki kapal selam mini berawak yang dapat digunakan unthk riset laut dalam,” kata Widodo saat diwawacarai Sabtu (25/12/2021).
Ia menyebutkan bahwa ada peneliti Indonesia yang melakukan penelitian di kedalaman 2 ribu meter. Tapi belum mencapai kedalaman maksimum Palung Selatan Jawa (Java Trench) yang mencapai 7 ribu meter.
“Pada tahun 2002, ada Peneliti BPPT Dr. Jusuf Surachman Djajadiharja yang melakukan penelitian, menggunakan kapal selam mini pinjaman. Jika ingin masuk ke kedalaman lebih dalam, diperlukan riset dan pengembangan teknologi lebih lanjut. Selain itu juga perlu dipertimbangkan tingkat kesejahteraan peneliti dan asuransi jiwa berisiko tinggi. Sehingga peneliti mau mengawaki kapal selam mini tersebut,” ujarnya.
Penelitian kelautan yang dilakukan oleh Dr. Deo Florence Onda di Palung Filipina dan Victor Vescovo di Palung Mariana menunjukkan adanya temuan sampah plastik dalam beragam bentuk.
“Palung Mariana adalah palung terdalam di dunia dan Palung Filipina adalah yang terdalam ketiga. Sehingga bisa dibayangkan, betapa besae masalah sampah di lautan ini, jika di dua palung yang dalamnya lebih dari 7 ribu meter sudah bisa ditemukan sampah plastik,” ujarnya lagi.
Ahli Oseanograf Terapan Pusat Riset Kelautan ini menjelaskan bahwa dari penelitian yang dilakukan oleh para ahli kelautan belum bisa menduga dari manakah sumber asli sampah plastik tersebut.
“Namun, ada suatu penelitian yang menginformasikan bahwa di Samudera Pasifik ada akumulasi sampah yang dikenal sebagai Great Pacific Garbage Patches atau Kumpulan Sampah Pasifik. Menurut penelitian dari NOAA Amerika Serikat, ada dua ‘Kumpulan Sampah Pasifik’ yakni di Samudera Pasifik Barat dan di Samudera Pasifik Timur. Kumpulan sampah di laut terjadi karena dikumpulkan oleh arus horisontal dan arus pusaran (Eddy current) di permukaan yang dibangkitkan oleh pertemuan arus dan juga dibangkitkan oleh angin,” urai Widodo.
Penanganan Kumpulan Sampah Plastik ini tidak lah mudah. Mengingat statusnya yang tidak diam. Kumpulan Sampah Plastik tersebut berotasi mengikugi arus Gyre mengelilingi Samudera Pasifik, terutama di bagian utara.
“Kumpulan Sampah Samudera Pasifik Barat diestimasi oleh NOAA adalah di sekitar lepas pantai Jepang. Kumpulan Sampah di Pasifik Barat tersebut dapat terbawa oleh Arus Kuroshio menuju Samudera Pasifik Utara kemudian terbawa arus menuju ke timur hingga bertemu dengan ‘Arus California’ yang kemudian dibelokkan ke selatan. Lalu dibelokkan lagi ke barat ketika bertemu dengan Arus Khatulistiwa Utara. Sehingga bisa saja terjadi, Kumpulan Sampah di Pasifik Barat akan berkesempatan bertemu dan membaur dengan Kumpulan Sampah di Pasifik Timur sebelum kemudian sampah-sampah tersebut kemudian dirotasikan lagi oleh Arus Khatulistiwa Utara,” urainya lagi.
Dengan mekanisme yang seperti ini, Widodo menegaskan bahwa penanganan sampah yang paling tepat adalah saat sampah masih ada di daratan.
“Paling terlambat ya penanganan di sungai, dengan menggunakan jaring atau benda semacamnya untuk menyaring sampah yang masuk ke badan air. Tapi, tentu saja, keberadaan jaring ini akan berkurang manfaatnya saat musim penghujan. Karena debit sungai yang ekstrim akan berpotensi membuat tanggul penahan sampah itu jebol,” ungkapnya.
Sehingga, yang paling tepat adalah memastikan perilaku manusia dalam mengelola limbahnya.
“Kalau penanganan di hilir pasti akan besar biayanya. Pertanyaan klasik yang dihadapi para peneliti kelautan terkait riset sampah laut adalah masalah biaya tinggi. Jadi, sebaiknya masyarakat lah yang merubah mindset dalam perilakunya dan memastikan mempersedikit sampah yang dihasilkan. Ingat, walaupun kita hidup di darat, daratan dan lautan itu adalah satu bagian yang tak terpisahkan. Bijaksana dalam mengelola sampah adalah hal paling utama,” pungkasnya.
Laporan : Natasha