PADA Jumat, 29 September 2017, publik dikagetkan oleh surat dari  CEO Freeport McMoran Richard Adkerson soal penolakan skema divestasi yang ditawarkan pemerintah. Sikap mencla-mencle atau ketidak-konsistennya Freeport ini, sesungguhnya bukan merupakan yang pertama kali.
Sebut saja kewajiban untuk menyerahkan 51 persen saham kepada Indonesia yang harusnya selesai tahun 2011, tapi juga tidak ditepati. Kewajiban untuk membangun smelter yang diamanatkan oleh UU Minerba nomor 4 tahun 2009 juga tak kunjung dikerjakan. Belum lagi praktek ‘jorok’ lainya yang dilakukan oleh Freeport selama beroperasi di Indonesia.
Sikap mencla-mencle, bau ‘busuk’ dan praktek ‘jorok’ Freeport ini sesungguhnya telah gamblang dijelaskan oleh Rizal Ramli ketika masih menjabat sebagai Menko Perekonomian era pemerintahan Gus Dur atau saat Rizal Ramli menjabat Menko Maritim era Pemerintahan Jokowi (2015-2016).
Rizal Ramli menyebutkan bahwa Kontrak Karya Freeport kedua yang ditandatangani pada Tahun 1991 memiliki cacat hukum karena melakukan upaya untuk menyogok Menteri Pertambangan saat itu. Menurut Rizal Ramli, sesungguhnya isi Kontrak Karya Freeport 1991 tidak banyak berubah dari Kontrak Karya I yang ditandatangani pada tahun 1967.
“Oleh karena itu, syarat-syarat kontrak yang kedua itu tidak berbeda dengan kontak pertama tahun 1967. Namun kemudian Presiden Soeharto mengetahui dan marah sekali karena Menteri Pertambangannya main sendiri dan menerima sogokan. Akhirnya diperintahkan Bob Hasan untuk mengambil saham yang 10 persen itu,” ungkap Rizal Ramli.
Rizal Ramli memang memiliki sejarah yang cukup panjang dalam berurusan dengan Freeport. Ia pernah melakukan penelitian atas Kontrak Karya Freeport yang banyak merugikan bangsa Indonesia sejak tahun 1967. Menurut laporan Econit, lembaga think thank yang didirikan oleh Rizal Ramli, yang dirillis tahun 1996, menemukan fakta bahwa status KK PTFI cacat hukum.
Karena penelitiannya itu, Rizal mengungkapkan, petinggi Freeport Mcmoran James R. Moffett kewalahan. Sang miliarder asal Amerika Serikat, kata dia, sempat berniat melakukan penyogokan untuk mengaburkan fakta sejarah. “Kalau Bapak Ramli mengatakan penelitian tahun 1997, saya bisa dipenjara,” kata Rizal menirukan ucapan James kepadanya.
Berdasarkan hasil penelitian Econit Advisory Group tentang praktek pelanggaran Freeport selama di Indonesia sejak 1967 inilah Rizal Ramli memiliki sikap tegas ketika ditugaskan oleh Gus Dur untuk negoisasi dengan Freeport pada tahun 2000.
“Tahun 2000, waktu saya jadi Menteri Ekonomi, saya lagi di New York. Pimpinan Freeport, James Moffett ngajak ketemuan. Mau negosiasi, katanya,” ujar Rizal Ramli ketika masih menjabat Menko Maritim di era Pemerintahan Jokowi ini.
Rizal Ramli yang memiliki banyak fata tentang praktek jorok Freeport, tak gentar. Rizal Ramli paham bahwa di Amerika Serikat ada peraturan yang dapat menjebloskan seseorang yang terkait kasus suap.
Mendapatkan izin dari Presiden Gus Dur untuk melakukan negoisasi dengan Freeport, Rizal Ramli didampingi timnya, salah satunya adalah (almarhum) Arief Arryman memulai proses negoisasi. Sementara, James Moffet didampingi oleh Presiden Direktur Freeport Indonesia, Adrianto Magribi.
Ketika pertemuan akan dimulai, Rizal Ramli mennyampaikan permintaan kepada Moffet. Ia tidak ingin diadu domba dengan sesame warga negara Indonesia. “He (Magribi) should wait outside. Kita tidak mau debat kusir dengan bangsa sendiri. Moffet setuju,” pinta Rizal Ramli.
Dalam pembicaraan tersebut, Moffet mengatakan bahwaa Freeport Indonesia siap membayar ganti rugi ke pemerintah Indonesia sebesar US$3 miliar. Akan tetapi dengan syarat mau melupakan dosa-dosa masa lalu Freeport, khususnya kasus dugaan suap Moffet.
Mendengar tawaran Freeport tersebut, Rizal Ramli tak lantas setuju. Ia justru meminta kepada tim untuk memaparkan mengenai lingkup bisnis Freeport di dunia.
“Bisnis Freeport bukan hanya tambang di Indonesia, tapi dagingnya disedot oleh Freeport McMoran yang listing di New York Stock Exchanges. Kalau dijelaskan keuntungan Freeport luar bisa besar. Dia kaget kenapa kami bisa analisa begitu. Lalu, saya bilang, kami minta US$5 miliar seluruhnya dimanfaatkan untuk 3 juta rakyat Papua, plus renegoisasi dengan divestasi 51% untuk Indonesia, penambahan royalti untuk Indonesia dan pengolahan limbah Freeport yang telah merugikan masyarakat sekitar tambang,” ungkap Rizal Ramli.
James Moffet setuju, tapi ia menyatakan bahwa masih harus didiskusikan dengan pemegang saham lainnya. Namun, beberapa waktu kemudian, tibaa-tiba James Moffet menawarkan pertemuan lanjutan di Colorado, Amerika Serikat, sambil menikmati musik klasik dan pertunjukan Broadway di AS dengan menggunakan jet pribadinya.
Terang saja Rizal Ramli marah besar. Ia merasa diremehkan dan seolah disamakan dengan dengan pejabat atau beberapa elit Indonesia lainnya. Ia benar-benar marah. Ia menggebrak meja sembari mengatakan “James, kamu mau sogok saya? Saya bisa nonton opera anytime. Yang penting kamu bayar US$5 miliar. Syarat dipenuhi,” tegas Rizal Ramli.
Belajar dari pengalaman dan integritas Rizal Ramli, sesungguhnya jika kita bersikap tegas dan berani, orang luar pun tidak akan bertindak seenaknya dengan bangsa Indonesia. “Jangankan beli saham Freeport Indonesia, yang (Freeport) internasional juga bisa kita beli,” tegas Rizal Ramli.
Oleh Agus Priyanto, Peneliti Lingkar Studi Perjuangan