KedaiPena.Com – Anggota Komisi VII DPR RI Harry Poernomo menilai ada andil dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) pimpinan Sri Mulyani terkait dengan tinggi dan mahalnya harga gas industri saat ini.
Menurut Harry penyebab masalah bukan di Pertamina, PGN ataupun ESDM, tetapi di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) itu sendiri.
“Sebagai info Kemenkeu itu juga mungut toll fee pipa gas di Bontang, padahal sudah ada bagi hasil. Aneh kan? Hal ini bikin harga gas mahal,” ungkap dia kepada wartawan di Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis, (13/2/2020).
Harry menambahkan Kemenkeu juga memungut processing fee di LNG plant Badak Bontang. Padahal saat masih dikelola oleh Total, Chevron bersama Pertamina tidak ada kedua jenis pungutan tersebut.
“Pemerintah melalui Kemenkeu hanya menerima bagi hasil gas,” ungkap Harry.
Dengan demikian, lanjut Politikus Gerindra ini, kedua pungutan tersebut menambah beban biaya para operator gas karena mereka sebenarnya suda bayar pajak dan PNBP sesuai UU yang
berlaku.
“Kabarnya pemerintah sudah ada jalan keluar dengan cara mengurangi revenue (bagi hasil gas) di hulu. Itu sudah benar, tidak perlu berwacana lagi. Sebenarnya juga tidak perlu ada Perpres dan sebagainya. Cukup presiden perintah kepada menkeu saja sudah bisa terlaksana,” tandas dia.
Untuk diketahui, Presiden Joko Widodo meminta harga gas untuk industri sebesar US$ 6 per MMBTU segera direalisasikan. Arahan tersebut sebenarnya telah tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 40/2016.
Jokowi mengatakan bahwa harga gas untuk industri telah berulang kali dirapatkan
“Saya mendapat informasi dari menteri ESDM kemarin, bahwa ini akan segera diputuskan. Jadi saya minta Perpres Nomor 40/2016 yang mengatur harga gas untuk industri yaitu sebesar US$6 per MMBTU segera direalisasikan,” katanya dalam rapat terbatas soal Ketersediaan Bahan Baku Bagi Industri Baja dan Besi di Kantor Presiden, kemarin.
Menurut Jokowi, hal itu menjadi satu dari tiga hal yang perlu dilakukan untuk mengembangkan industri baja dan besi. Selain harga gas, dia juga meminta agar dilakukan perbaikan pada ekosistem penyediaan bahan baku baja dan besi.
Namun demikian bukanya menjalankan perintah dari Presiden Jokowi, PGN sendiri malah mengusulkan penghapusan pajak pertambahan nilai (PPN) agar harga gas industri bisa menjadi US$ 6 MMBTU.
Direktur Utama PGN Direktur Utama Gigih Prakoso mengatakan, pihaknya tak pernah menyertakan PPN. Namun, dalam perolehan gas cair dari kontraktor dipungut PPN.
“Kami juga mengusulkan untuk penghapusan beberapa biaya termasuk PPN yang tidak bisa kami kreditkan. Karena kami sebagai perusahaan gas dalam menjual gas kami tidak pernah membebankan PPN karena memang gas tidak kena PPN,” katanya di Komisi VI DPR Jakarta, Senin (3/2/2020).
Kalangan industri sendiri menginginkan harga gas di kisaran USD3 seperti negara tetangga. Harga gas yang rendah akan menekan biaya produksi menjadi murah sehingga barang-barang bisa bersaing dengan produk impor.
Sejauh ini masih ada beberapa industri yang belum mengikuti penyesuaian, yaitu harga gas industri keramik USD7,7 dollar per MMBTU, kaca (7,5 dollar AS per MMBTU), sarung tangan karet (9,9 dollar AS per MMBTU), dan oleokimia (8-10 dollar AS per MMBTU).