KedaiPena.Com – Selama lima tahun ke depan, Presiden Joko Widodo akan ‘mencuci piring’ sendiri atas kekotoran yang dia buat dalam periode pertama kepemimpinannya.
Demikian disampaikan mantan Sekretaris Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Muhammad Said Didu dalam sebuah video, ditulis KedaiPena.Com, Rabu (16/10/2019).
“Setidaknya ada lima piring besar yang dibuat kotor. Pertama piring kotor BUMN, kedua infrastruktur, ketiga utang dan pendapatan negara, keempat penegakan hukum dan keadilan dan kelima menyejahterakan masyarakat,” tegas dia.
“Mungkin Tuhan sayang dengan bangsa ini, makanya dia (Jokowi) terpilih lagi. Sebab kalau bukan dia yang terpilih, maka yang akan membenahi piring kotor itu bukan Jokowi,” sambungnya.
Said Didu menambahkan, nama yang cocok untuk kabinet Jokowi periode 2019 hingga 2024 mendatang adalah Kabinet Cuci Piring.
Menurutnya, dirinya meyakini jika kabinet 2019 hingga 2024 tersebut bakal sibuk memperbaiki kegagalan-kegagalan kabinet 2014 hingga 2019.
“Saya yakin kabinet 2019-2024 akan sibuk memperbaiki kegagalan-kegagalan kabinet 2014-2019,” lanjut dia.
Ia melanjutkan, sebuah pemerintahan yang baik dan normal jika mendasarkan kerja dengan perencanaan. Harus ada fungsi teknokratis, koordinatis dan politik. Tapi era pemerintahan Jokowi beda. Diawali dengan keinginan politik lalu diakhiri dengan pembenaran.
“Saya mau ini, lalu para menteri yang membenarkan. Kabinet ke depan, buat Jokowi tidak penting menteri, karena tugas menteri bagaimana membenarkan presiden,” lanjut Said.
Hal ini berbeda dengan masa pemerintahan Soeharto misalnya. Di zaman tersebut, pembangunan dimulai dengan mendengar kebenaran teknokrat, lalu kemudian dipoles secara politik. Sementara di masa Jokowi, tidak bisa menteri berpikir obyektif, tapi harus subyektif.
Said menegaskan, bisa bicara demikian keras, karena satu setengah tahun di dalam pemerintahan Jokowi. Said memang sempat menjabat Komisaris PT Bukit Asam.
“Saya juga tahu betul Sri Mulyani itu teknokratis obyektif. Saya lima tahun (di masa SBY) dengan dia. Dia berani berdebat dengan Presiden kalau tidak obyektif. Namun di masa Jokowi berubah, hal yabg tidak masuk akal, ya dijalankan saja. Yang sangat berbasis kebenaran saja jadi berbasis pembenaran, bagaimana yang lain,” tandas dia.
Laporan: Muhammad Hafidh