KedaiPena.com – Terganggunya sistem layanan Bank Syariah Indonesia (BSI) beberapa hari lalu, membuka wacana adanya permainan sistem keuangan untuk kepentingan politik.
Pengamat Ekonomi, Yanuar Rizki mempertanyakan pernyataan Wamen BUMN, Kartiko yang menyatakan bahwa saham BSI yang akan dijual adalah saham yang dimiliki oleh BNI dan BRI.
“Apakah BNI dan BRI membutuhkan duit? Sepertinya tidak. Laba BNI sekitar Rp25 triliunan. Apalagi BRI. Tapi sekarang isu-nya, seakan-akan BNI dan BRI butuh uang. Tendensi-nya seperti dulu, menjual BUMN tapi bukan karena kebutuhan modal,” kata Yanuar, dalam diskusi perbankan oleh Narasi Institute, Jumat (12/5/2023).
Ia menyatakan, jika memang membutuhkan modal, seharusnya yang dilakukan adalah penerbitan saham baru.
“Tapi kalau melihat pernyataan Wamen, yang akan menjual saham lama, artinya bukan kebutuhan modal. Kalau kayak gini, main-main VR Ranger atau apa. Atau ini menjadi bagian dari membuat harga acuan untuk menurunkan harga market-nya?” ujarnya.
Yanuar menegaskan secara kebijakan publik, apa yang dilakukan oleh Kementerian BUMN merupakan sesuatu hal yang lucu.
“Ini offside berat. Saat ada masalah malah mau jual saham. Mau jual rumah saja, jika ada yang bocor, dibenerin dulu. Ini lagi ada masalah, malah mau jual,” ujarnya lagi.
Ia menyatakan kebijakan BUMN ini menjatuhkan citra Bank Mandiri, sebagai pemegang terbesar saham BSI.
“Wamen juga bekas Mandiri kan. Seharusnya dia tahu apa yang terjadi dengan BSI. Termasuk dengan pernyataan Menteri BUMN, yang selalu menyatakan excellence dan sebagainya,” kata Yanuar lebih lanjut.
Ia mengungkapkan dengan adanya kejadian buruk ini, market value ada di sekitar Rp1.700 dengan average 45 hari. Jika memang dijual, maka yang akan digunakan adalah harga terakhir.
“BNI memiliki saham dengan harga Rp500 per lembar. Let say, jika dijual dengan harga Rp750, dinyatakan sudah untung. Tapi kan harga itu, karena adanya isu ini. Kalau dibilang tidak ada kerugian negara, harusnya diterapkan UU Pasar Modal. Dari isu yang dihembuskan, harga, ada unsur Pidana Pasar Modal gak? Tapi kan selama ini tidak pernah digunakan,” ucapnya tegas.
Ia menyatakan jika suatu barang memang ada dagingnya, pasti ada standing buyer-nya untuk menguasai bisnisnya.
“Jadi tidak usah bicara Qatar-nya, siapapun yang ambil BSI, seksi. Karena mereka ingin channelling-nya. Jadi bukan masalah menggoreng sahamnya. Tapi mereka ingin masuk sebagai pemegang saham pengendali. Karena itu bagian dari channelling ekspansi. Coba perhatikan, semua BUMN yang punya standing buyer pasti dijual dengan strategic placement, tidak pernah lewat publik. Yang dijual saham lama, seakan-akan diputar, padahal BUMN tersebut tidak butuh modal,” kata Yanuar.
Politik memang butuh duit, lanjutnya, tapi tidak perlu melakukan hal seperti ini.
“Katanya Menteri BUMN mau cawapres, jadi mohon maaf kata. Kebijakan publik itu harusnya bebas konflik kepentingan. Dari sudut etika, jelas ini melanggar etika,” pungkasnya.
Laporan: Ranny Supusepa