KedaiPena.Com – Menghadapi kenyataan yang terus saja melilit hampir semua lapisan masyarakat Indonesia, berupa rendahnya minat dan budaya membaca buku, tidak bisa tidak Perpustakaan Nasional, Perpustakaan Daerah, Perpustakaan Masyarakat atau Taman Baca Masyarakat harus terus-menerus mengembangkan program-program kreatif, inovatif, berkelanjutan dan terarah. Hal itu dalam rangka untuk memastikan bisa terdongkraknya geliat dan minat membaca buku pada anak-anak dan masyarakat Indonesia.
Untuk itu, pemerintah, legislatif, dan dunia usaha  harus terus menopang secara maksimal semua langkah itu lewat peran yang melekat pada dirinya, guna memastikan segenap agenda penumbuhkembangan minat dan budaya membaca masyarakat dan anak-anak bisa benar-benar berjalan progres dan terukur dari waktu ke waktu. Bukan sekedar dalam rangka menunaikan kewajiban alakadarnya tanpa perspektif capaian progresif yang jelas dan terukur dari agenda-agenda itu.
Hal itu merupakan pikiran-pikiran yang mengemuka pada Safari Gerakan Nasional Gemar Membaca 2016 bertema “Membangun Karakter Bangsa Melalui Gemar Membaca dengan Memberdayakan Perpustakaanâ€, yang diselenggarakan Perpustakaan Nasional bekerjasama dengan Kantor Perpustakaan dan Arsip Kota (KPAK) Jakarta Timur, yang bertempat  di Kantor Walikota Jakarta Timur, pada Selasa (9/8).Â
Ratusan orang terlihat antusias menghadiri acara itu. Tampak anggota Komisi X DPR RI Wiryanti Sukamdani, Kepala BPAD DKI Jakarta Tinia Budiarti, pustakawan senior Perpustakaan Nasional Subeti Makdriani, Kepala KPAK Jaktim Fadlan Zurhan, pemerhati literasi anak dan konsultan kota layak anak Nanang Djamaludin, SKPD-UKPD terkait, para pegiat  perpustakaan masyarakat/TBM, mahasiswa dan para pelajar.Â
Wiryanti Sukamdani menyampaikan pelbagai permasalahan yang ada dibalik minat baca yang rendah. Diantaranya, masih rendahnya apresiasi masyarakat  terhadap perpustakaan, minimnya minat kaum cendekia untuk menulis, terbatasnya ketersediaan buku terlebih yang berkualitas, harga buku yang mahal di tengah daya beli rendah, dan belum semua jenis buku tersedia di semua jenjang dan satuan pendidikan.
Selain itu, lanjut Wiryanti yang berasal dari Fraksi PDIP itu, distribusi buku ke setiap daerah belum merata, buku terjemahan makin banyak tapi belum melalui suatu mekanisme yang diatur dalam sebuah UU Sistem Perbukuan Nasional, dan ketersediaan buku-buku sekolah pun masih belum memenuhi hakikat penanaman nilai-nilai edukasi.
“Komisi X dengan ruang lingkup tugas bidang pendidikan dan kebudayaan, pariwisata, pemuda dan olahraga, serta perpustakaan mendorong adanya aturan tentang perbukuan secara komprehensif lewat UU, dalam hal ini lewat RUU Sistim Perbukuan Nasional,†tandasnya.
Kepala BPAD DKI Jakarta Tinia Budiarti menekankan pentingnya  melakukan terobosan-terobosan bagi para pengelola perpustakaan, baik itu perpustakaan milik pemerintah, maupun perpustakaan milik masyarakat.  Hal itu untuk merubah mindset yang selama ini ada di masyarakat secara umum, yang cenderung melihat perpustakaan cuma  tempat yang berisi rak-rak dan tumpukan buku semata. Bukan sebagai tempat yang menyenangkan dan menggairahkan untuk dikunjungi.
Tinia mencontohkan pengalamannya ketika menerapkan konsep living library pada perpustakaan milik BPAD yang terletak di Taman Ismail Marzuki Jakarta. Â Dimana lewat konsep living library itu, perpustakaan tersebut selain menyediakan buku-buku dan bahan bacaan berkualitas untuk para pengunjung semua lapisan usia, di perpustakaan itu juga disuguhi hiburan, rekreasi dan edukasi yang mengasyikkan.
“Bagi masyarakat Jakarta maupun dari daerah lain yang belum sempat berkunjung perpustakaan BPAD DKI Jakarta di TIM, coba deh kalian berkunjungi mengajak anak-anaknya. Saya yakin akan merasa betah dan senang,†ajak Tinia.
Lewat konsep living library itu, perpustakaan BPAD di Tim memiliki area dan beragam fasilitas bermain untuk anak, perangkat audio visual yang menunjang anak-anak suka mendatangi perpustakaan, kerap menyelenggarakan kegiatan pelatihan-pelatihan untuk anak, kelas parenting, kelas penulisan, diskusi interaktif tentang buku, dan sebagainya.
Sementara itu pemerhati literasi anak dan konsultan kota layak anak, Nanang Djamaludin, mengatakan, apresiasinya terhadap segala upaya  yang dilakukan pada setiap gerakan, dengan nama apapun, dalam rangka menumbuhkembangkan minat dan budaya membaca buku, terlebih pada anak-anak.
Namun ia melihat, Â kerapkali gerakan-gerakan yang dibuat terkait penumbuhan minat membaca, khususnya dengan sasaran anak-anak itu, masih saja jauh dari yang diharapkan, dengan target-target capaian dan pentahapan yang masih belum jelas. Â Jauh dari terukur dan berkesinambungan, serta belum banyak yang menyiram programnya langsung ke basis-basis masyarakat di akar rumput.Â
Padahal, menurut Nanang, fakta yang telah berlangsung lama di negeri ini berupa terus rendahnya minat membaca buku pada masyarakat kita, harus ditopang dengan kebijakan-kebijakan, program-program inovatif yang berkesinambungan, metode-metode yang menggairahkan, tahapan-tahapan yang jelas, target-target yang rasional dan progresif setiap tahunnya dengan sasaran basis-basis masyarakat di akar rumput.
“Jika disebutkan secara nasional minat membaca masyarakat kita rendah, yang menurut survei Unesco 2012 masih bertengger di angka 0,001, berarti dari 1000 orang Indonesia cuma  1 orang yang suka membaca. Lantas mengapa tidak dipancang sebuah target nasional yang ditopang dengan program-program, metode-metode, dan tentunya anggaran yang dapat diandalkan, bahwa  dalam 2 atau 3 tahun ke depan, misalnya, dari 1000 orang Indonesia cuma 100 orang yang suka membaca. Dengan begitu berarti akan ada progres dari posisi semula yang amat memalukan itu, †jelas Nanang yang juga Direktur Eksekutif Jaringan Anak Nusantara (JARANAN).
Jika 2-3 tahun kemudian ternyata target itu tercapai, lanjutnya, pancang lagi target berikutnya, dimana 2-3 tahun ke depan dari 1000 orang Indonesia cuma 200 atau 300 saja yang suka membaca. Dan bila target-target itu ternyata stagnan atau melenceng, maka lakukan evaluasi untuk menemukan masalah dan solusinya secara cerdas.
“Dari situ lalu susun lagi perbaikan-perbaikan program dan metode yang jauh lebih berkualitas untuk terus menggenjot minat membaca masyarakat. Sampai akhirnya bisa benar-benar dipastikan, bahwa dari 1000 orang Indonesia, yang tidak suka membaca cuma 100 orang saja, atau cuma 10 orang saja. Bahkan syukur-syukur dari 1000 orang Indonesia  cuma 1 orang saja yang tidak suka membaca, yang berarti kita telah mampu membalik 180 derajat posisi dari keadaan semula yang merupakan tragedi massal sektor literasi yang menyedihkan itu,†tambahnya.
Dan diketahui, berdasarkan kajian di 12 provinsi dan 28 kabupaten/kota oleh Perpustakaan Nasional tahun 2015 tentang budaya baca masyarakat Indonesia, diperoleh empat level peringkat budaya baca masyarakat Indonesia. Yakni  sangat rendah yang mencakup 63,8% masyarakat, rendah yang mencakup 27,8% masyarakat, sedang mencakup 7,9% masyarakat, dan tinggi mencakup 0.5% masyarakat.Â
“Jika begitu maka pertanyaannya, mengapa tidak dibuat program-program berkesinambungan dan tajam menggunakan metode-metode efektif lewat aksi turun ke bawah, ke akar rumput di pelosok-pelosok daerah dengan targetan yang terukur guna terus mendongkrak minat baca di semua level peringkat itu?†tanyanya.
JARANAN sendiri, menurut Nanang, telah memiliki model-model program dan metode-metode yang diyakini mampu mendongkrak minat membaca dan berliterasi anak, dan modulnya telah dipresentasikan dipelbagai kesempatan. Jika diperlukan, dirinya siap memasok konsep-konsep itu kepada Perpustakaan Nasional, yang berisi program-program yang tajam untuk dijalankan di akar rumput dengan metode-metode yang efektif dalam rangka penumbuhkembangan minat membaca dan berliterasi pada anak-anak nusantara.
“Saya merasa sayang saja, anggaran untuk Perpustakaan Nasional lewat APBN yang dikawal Komisi X DPR RI yang trennya selalu naik signifikans tiap tahun, dan terakhir di 2016 ini sebesar 701 milyar rupiah. Sehingga masih sangat bisa digenjot efektifitasnya, diantaranya, untuk menopang program-program berkelanjutan yang tepat,  tajam dan non konvensional di akar rumput, dengan metode-metode yang bisa diandalkan guna mendongkrak minat membaca dan berliterasi anak. Bukankah tragedi massal nan kelam dan panjang di sektor literasi yang melilit bangsa ini, perlahan tapi pasti harus benar-benar dipastikan bisa kita akhiri bersama?†pungkasnya.
(Prw)‎