KAMI terhentak, kaget, ketika menonton sebuah video perilaku seorang Kepala Negara yang memperlakukan rakyatnya persis seperti binatang. Video itu dengan bangga diposting oleh Ketua Umum salah satu partai Islam di akun twitternya.
Dalam video yang di-viralkan di sejumlah media sosial itu, si Kepala Negara yang terkenal dengan jargon revolusi mental itu, menebar atau melemparkan bingkisan dari dalam mobil dinasnya yang sedang berjalan melewati jalanan.
Di luar mobil yang ditumpangi si Kepala Negara itu, rakyat miskin yang berjejeran di pinggir jalan, terlihat berebut bingkisan yang ditebar atau dilemparkan oleh si Kepala Negara dari dalam mobil. Persis seperti binatang, ayam atau kucing, yang berebut makanan yang ditebar atau dilemparkan di atas tanah atau lantai.
Tak ada alasan bagi setiap pejabat negara dalam memperlakukan rakyat layaknya binatang seperti itu. Jika terkendala protokuler, tak bisa menyalami dan memberi langsung bingkisan tersebut kepada rakyat, sebaiknya tak usah membagi bingkisan dengan menebar dan melempar seperti itu.
Bagi seorang pejabat yang mempunyai pengetahuan dan perasaan yang dalam tentang nilai-nilai dan adat istiadat, pasti perasaannya tak akan tega memperlakukan rakyat seperti itu. Walaupun rakyatnya terlihat gembira dan berebutan bingkisan yang ditebar tersebut, tetap cara seperti itu sangat tidak beradab, tidak manusia.
Kita lebih baik memilih untuk tidak memberi sesuatu kepada orang lain, daripada memberi sesuatu tapi dengan cara yang sangat tidak beradab, bahkan menghinakan martabatnya sebagai manusia, makhluk yang paling istimewa di mata Tuhan, bahkan lebih istimewa dari para malaikat.
Peristiwa tersebut dalam penilaian kami sangat penting dan menjadi cermin atau puncak gunung es dari peradaban bangsa Indonesia yang sedang membusuk menjadi bangkai.
Banyak faktor dapat dijabarkan untuk menjelaskan terkait membusuknya peradaban bangsa Indonesia saat ini, namun yang paling mendasar adalah fakta perilaku Kepala Negara yang tidak beradab dalam memperlakukan rakyatnya sendiri, menghinakan martabat manusia Indonesia.
Bayangkan, seorang pemimpin negara yang seharusnya menjadi teladan dalam memanusiakan manusia, bertanggungjawab menciptakan sistem negara yang dapat mewujudkan nilai nilai kemanusiaan di bumi Indonesia, justru demi pencitraan bertindak memperlakukan rakyatnya tak ubah nya binatang.
Bukankah peri kemanusian yang menjadi prinsip dasar di daam Pancasila, adalah sebuah rasa kemanusian. Sebuah rasa kemanusian tidak ditujukan semata untuk manusia dan umat manusia, tapi juga kepada seluruh alam semesta, rasa kemanusian ditujukan baik kepada binatang maupun tumbuhan.
Bercermin dari perilaku si Kepala Negara yang sangat tidak beradab di atas, maka Kartu Kuning dari Ketua BEM UI, Muhammad Zaadit Taaqwa, dapat ditangkap sebagai pesan sirine peringatan tentang peradaban bangsa Indonesia yang telah menjadi bangkai dan membusuk.
Kartu kuning tersebut ibarat peringatan keras dari Eyang Semar Ismoyo Jati kepada Petruk yang telah menyimpang dari kepatutannya, lupa diri, lupa daratan, yang sangat membahayakan masa depan peradaban bangsa Indonesia. Kartu kuning tersebut adalah pertanda Eyang Semar telah turun gunung.
Penutup, saatnya mahasiswa dan pemuda bergerak dan membangun perdebatan intelektual yang beradab tentang situasi peradaban bangsa yang telah menjadi bangkai dan membusuk. Katakan tidak kepada kekonyolan pencitraan dan nyinyiran tidak beradab di media sosial yang menambah makin membusuknya peradaban bangsa Indonesia.
Oleh Haris Rusly, Petisi 28 dan Pusat Pengkajian Nusantara Pasifik (PPNP)