KedaiPena.Com – Dari Sulawesi Selatan, mereka ditawan di Robben Island, Afrika Selatan dengan kesalahan yang tidak dijelas. Mereka disebut sebagai Bandietten Rollen yang berarti orang yang dianggap berkonspirasi merongrong VOC, Belanda.
Salah satu yang masuk kategori Bandietten Rollen adalah ulama besar yang juga termasyhur sebagai sufi, Asy-Syaikh al-haj Yusuf Abu al-Mahasin Hidayatullah Taj Al-Khalwati al-Makasari atau Syekh Yusuf.
“Sejarah Islam di Afrika Selatan memang tidak lepas dari ketokohan Syekh Yusuf. Ulama asal Sulawesi Selatan ini memiliki tempat tersendiri di Afrika Selatan,” tutur Arfandi Palallo, pemerhati makam Syech Yusuf, Senin (2/5).
September 2005, Pemerintah Afrika Selatan memberinya gelar kehormatan Pahlawan Nasional. Pada sepuluh tahun sebelumnya, 1995, pemerintah Indonesia juga menganugerahinya gelar Pahlawan Nasional.
Ketokohan Syekh Yusuf di Afrika Selatan terlihat jelas dari sikap Nelson Mandela yang menyatakan bahwa salah satu yang menginspirasinya untuk melawan politik apharteid adalah ajaran ulama asal Indonesia tersebut.
Ketika wafat di pengasingan, Kaap, tanggal 23 Mei 1699, Syekh Yusuf dimakamkan untuk pertama kalinya di Faure, Afrika Selatan.
Raja Gowa kemudian meminta kepada pemerintah Belanda agar jasad Syekh Yusuf dipulangkan dan dimakamkan di Gowa. Lima tahun sesudah wafat, yakni pada tahun 1704, baru permintaan tersebut dikabulkan. Jasadnya dibawa pulang bersama keluarga dengan kapal de Spiegel yang berlayar langsung dari Kaap ke Gowa.
Pada tanggal 6 April 1705, tulang kerangka Syekh Yusuf dimakamkan dengan upacara adat pemakaman bangsawan di Lakiung. Di atas makamnya yang terletak di Katangka, dibangun kubah yang disebut Kobbanga oleh orang Makassar.
Katangka Kini
Kawasan Katangka selayaknya masuk kategori kawasan cagar sejarah. Di sini terdapat masjid yang berumur ratusan tahun dan makam Ulama Besar Syekh Yusuf Al- Makassari, kebanggaan Sulawesi Selatan dan dunia.
Bukan hanya itu di kawasan ini juga terletak komplek makam para raja-raja, yang merupakan leluhur peletak dasar keberadaan Rakyat Gowa dan Sulawesi Selatan.
Sayangnya, persoalan klasik mewarnai Katangka. Ikon banjir dan genangan comberan tak kenal musim sebagai buah dari penataan kawasan yang buruk. Bukan hanya itu, di kawasan ini juga kerap terjadi pemblokiran warga terhadap jalanan.
Katangka adalah catatan keberadaan Badietten Rollen. Ikon eksotis perjalanan sejarah kebesaran Sulawesi Selatan. Tidak selayaknya kawasan ini kumuh dan terabaikan.
Sebab, dengan kondisi Katangka sekarang, tanda kita telah melupakan budaya dan sejarah peradaban yang telah diletakkan para pendahulu.
Sudah sepantasnya, semua pihak, saling bekerja sama dan membangun kesadaran kolektif untuk melestarikan kawasan ini.
Merehabilitasi nilai eksotis budaya yang sarat makna di Katangka yang telah memudar seiring dengan kepadatan pemukiman penduduk dan sentral bisnis. Sudah saatnya untuk selamatkan Katangka.
(Ardan/Prw)