KedaiPena.Com – Gunung agung berada dalam kritis. Keadaan ini mengingatkan publik atas letusan pada tahun 1963 yang berlangsung sekitar satu tahun. Hal ini tentu berdampak pada pariwisata di Bali, pulau dengan tingkat kunjungan wisatawan paling tinggu di Indonesia.
Taufan Rahmadi, Anggota Tim 10 Percepatan Pembangunan Pariwisata mengatakan, Indonesia harusnya memiliki standar operasi prosedur (SOP) pariwisata ketika terjadi ‘force majeur’.
Seperti dalam hal transportasi, sektor yang erat dengan pariwisata. Indonesia tidak bisa lagi tergantung 100 persen kepada transportasi udara untuk membawa wisatawan menuju destinasi-destinasi wisata di Indonesia.
“Mengapa demikian? Belajar dari penutupan airport yang terjadi berkali-kali di beberapa bandara karena ‘force majeur’ perlu untuk segera dilakukan sebuah strategi baru. Terutama dalam “mengkondisikan psikologis” wisatawan,” kata Taufan kepada KedaiPena.Com, Rabu (27/9).
Harus ada upaya menggiring opini bahwa bukan hanya pesawat udara yang mampu membawa publik ke sebuah tujuan wisata yang sudah direncanakan. Tapi ada alternatif, moda transportasi lain yang tidak kalah “fun“ dan “safe“ yang bisa dipilih. Dengan kata lain, ditutupnya bandara bukanlah mimpi buruk dan menunda berwisata.
“Ditutupnya Ngurah Rai Airport dan Bandara Internasional Lombok dalam kasus letusan Gunung Barujari di NTB, beberapa waktu lalu, adalah sebuah contoh nyata. Dalam kasus itu, secara jelas terlihat bagaimana pergerakan para wisatawan dapat untuk diprediksi. Ada yang mengambil jalan darat dan laut artinya terus melanjutkan perjalanan menuju daerah tujuannya. Meski, ada juga yang memilih membatalkan kunjungannya,” kata dia lagi.
Taufan tergelitik untuk melakukan sebuah riset kecil, bertanya dengan beberapa wisatawan yang kebetulan sama-sama mengalami nasib “ terjebak “ di airport, apakah hal tersebut menjadi alasan membatalkan kunjungannya. Dari jawaban yang ada, Taufan mengambil kesimpulan bahwa ada dua alasan yang paling utama.
Pertama mereka merasa tidak aman bepergian di saat ada “ bencana alam“ di sebuah destinasi wisata. Lalu yang kedua, mereka melihat terbatasnya informasi tentang alternatif tranportasi lain yang bisa menjadi pilihan yang nyaman bagi mereka untuk melanjutkan perjalanan.
Padahal, untuk kasus pariwisata di Bali, masih ada moda transportasi lain yang memiliki kelebihan. Seperti, fastboat yang melayani rute Padang Bai Bali menuju Teluk Nare Lombok. Berdasar informasi yang didapat dari Dinas Perhubungan setempat, bahwa ada sekitar 20 armada fastboat yang beroperasi di dalam melayani rute ini dengan kapasitas rata-rata 75 penumpang, dengan tarif per penumpang antara Rp200-250 ribu.
“Fastboat ini menempuh waktu sekitar 1,5 Jam. Dan rasanya pun cukup nyaman ditambah dengan keindahan pemandangan garis pantai Bali–Lombok dan kalau beruntung bertemu kawanan lumba-lumba yang bisa kita nikmati selama perjalanan,” jelas Taufan.
Dari sisi komersial ataupun nilai ekonomi, dapat dianalisa bahwa fastboat ini memiliki hitung-hitungan kasar, 20 armada dikali 75 penumpang (one way) dikali 6 (frekuensi) dikali Rp250.000. Hasilnya Rp. 2.250.000.000 per hari. Jika jumlah omset ini dibagi rata dengan 20 boat, maka omset rata per boat per hari, akan ketemu jumlah Rp112.500.000, bisnis yang cukup menggiurkan.
“Tidak berhenti di situ. Jika 20 armada fasboat tadi, kita rata-rata kan membawa 75 penumpang saja, maka 20 dikali 75 penumpang dikali 3 sama dengan 4500 penumpang per hari. Jika kita asumsikan 4000-nya adalah wisatawan yang rata-rata lama menginap di Gili ataupun di Lombok adalah 3 hari, dengan rata-rata menghabiskan $200 per hari, maka akan di dapat, 4000 dikali 3 hari dikali $200 sama dengan $2.400.000. Ini baru bicara tiga hari masa kunjungan, belum kita berhitung perputaran wisatawan yang terjadi selama satu bulan, lalu satu tahun, angka yang wow,” sambung Taufan.
“Sengaja saya menulis ini dengan mengemukakan hitung-hitungan komersial diatas, karena bagaimana pun di saat berbicara tentang pariwisata, tidak terlepas dari nilai-nilai ekonomi dan bisnis yang mengikutinya. Jadi, menurut hemat saya, daripada kita harus bermuram durja, sudah saatnya kita berfikir strategi jitu di dalam mengatasinya,” Taufan melanjutkan.
Ia pun meminta pemerintah untuk merangsang swasta untuk melakukan pengembangan bisnis transportasi pariwisata selain transportasi udara yang sesuai standarisasi keamanan dan kenyamanan. Caranya, dengan memberikan kemudahan perizinan, insentif dan lain-lain. Lalu, memperkuat sosialisasi dan informasi tentang moda transportasi alternatif yang tidak kalah fun dan nyaman di dalam berwisata.
“Dari sisi swasta, sudah jelas, bahwa dunia pariwisata yang terus berkembang ini adalah sebuah kesempatan di dalam memperlebar jangkauan bisnis yang dimiliki. Dan sudah terbukti bahwa bisnis pariwisata adalah bisnis yang sudah teruji di dalam bertahan menghadapi krisis,” tandas dia.
Laporan: Muhammad Ibnu Abbas