MULTAQO Ulama Ahlussunnah Waljamaah (Aswaja) yang dihadiri ribuan Ulama, Habaib, Kyai, Pengasuh Pondok Pesantren se-Indonesia yang berkumpul di Pondok Pesantren Darussalam Wanaraja Garut Jawa Barat tanggal 12 Mei 2019 telah menyatakan penolakan pada program Republik Rakyat Cina, ‘One Belt One Road’ (OBOR) atau ‘Belt and Road Initiative’ (BRI).
Para Ulama ini melihat bahaya dari program China yang direspons hangat dan ditindak lanjuti Pemerintah Indonesia.
Dikhawatirkan Indonesia disadari atau tidak akan menjadi jajahan Cina.
Demikian juga bahaya komunisme dapat mengancam. Bukti sejarah dahulu komunis berkhianat pada negara dan membantai para Ulama.
Sungguh jeli kewaspadaan para Ulama Aswaja terhadap bahaya program OBOR di berbagai belahan dunia. Semangat hegemoni Cina sangat kuat.
Investasi dan utang adalah “jalan sutera baru” untuk melakukan kolonialisasi. Ekonomi dan politik tak bisa dipisahkan.
Indonesia menurut para Ulama khawatir justru menjadi pihak yang dirugikan sedangkan Cina sangat diuntungkan dengan kerjasama yang diinisiasinya ini.
Program OBOR pada umumnya adalah proyek “turn key” sehingga Cina sangat dominan. Dana, materil dan mesin, tenaga ahli, hingga tenaga kerja didatangkan dari Cina.
Yang bahaya adalah masuknya ribuan bahkan bisa jutaan tenaga kerja legal dan ilegal ke Indonesia. Hal ini bisa menjadi misi migrasi terselubung.
Menyusul sudah bermukimnya WNI keturunan Cina yang berhasil “menguasai” berbagai sektor ekonomi penting di Indonesia. Program ambisius PM Xi Jinping yang menekankan “kerjasama” tenaga kerja ini dibenarkan dan dikuatkan oleh Wakil PM Liu Yandong ketika berpidato di kampus UI pada Mei tahun 2015 lalu.
China memang merajalela dan bahaya. Sektor bisnis penting telah dipegang. Konglomerasi dibangun oleh para pengusaha etnis China. Semua tahu negeri ini seolah telah dikendalikan para taipan.
Proteksi bagi pribumi dalam dunia usaha tidak signifikan. Bahkan kini peran WNI keturunan ini sudah mulai bereskalasi pada pengisian dan pengaruh sektor politik.
Apa yang dikhawatirkan para Ulama memang sangat beralasan. Jika sudah masuk ruang politik maka aspek ideologi akan ikut mendompleng.
Komunisme mendapatkan ruang untuk pengembangan. Sejarah masa lalu memberi pelajaran akan kejahatan PKI yang menyusup dan memberi pengaruh kuat pada pemegang kekuasaan politik.
Konferensi Partai Komunis China di Beijing telah menekankan program strategis “kebangkitan dan penguatan urusan Cina perantauan”. Menggerakkan dan mengoptimalkan potensi etnis China diberbagai belahan dunia.
Untuk kepentingan negara leluhur mereka, RRC. Secara tidak langsung juga menjadikan warga yang berada di perantauan itu sebagai agen-agen ideologi.
Ekspor ideologi komunisme adalah misi penting di samping keuntungan ekonomi untuk menyejahterakan negara leluhur. Slogan yang dipropagandakan adalah “All Patriots are One Family”.
Mereka yang di perantauan adalah keluarga dan mereka harus jadi patriot untuk negara Cina.
Program OBOR adalah irisan atau “cantolan” kepentingan di atas. Inilah yang seharusnya diwaspadai Pemerintah.
Sayang Pemerintahan Jokowi justru menjalankan program berbahaya ini dengan riang gembira.
Menko Maritim Luhut Panjaitan berwajah garang memelototi yang tak setuju dengan kebijakan ini.
Akhirnya kita menilai wajar jika ada sebagian rakyat Indonesia mencurigai rezim “simbiosis” Indonesia-Cina.
Pemerintahan Jokowi tidak peka pada aspirasi masyarakat. Sepertinya masa bodoh dan berprinsip “anjing menggonggong khafilah berlalu”.
Seharusnya suara Ulama pun didengar dengan seksama. Ada kekhawatiran akan bahaya yang sedang mengancam di depan.
Oleh M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik, Tinggal di Bandung