SEBUAH video berdurasi 0.24 detik dalam bahasa Inggris viral di jagad sosial media. Penulis tidak tahu di forum mana sang pembicara di video itu berbicara. Tapi, dia sedang sampaikan pengamatan nya di beberapa negara tentang pemilu di Somalia, Amerika Serikat dan Indonesia.
Dan siapa pengamat itu belum jelas. Tapi diujung durasi video singkat terdengar sejumlah orang tertawa.
Video dalam bahasa Inggris yang sudah di terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dalam teks berjalan itu berbunyi sebagai berikut.
“Which country in the world has most effective election system? In Somalia, it takes twenty until thirty days to be known, in America within few hours after election is over, in Indonesia they know the result before the election”.
“Negara mana di dunia ini paling efektif sistem pemilihannya? Di Somalia memerlukan waktu 20 sampai 30 hari untuk mengetahui hasilnya, di Amerika hanya beberapa jam sudah di ketahui hasil setelah pemelihan. Di Indonesia sudah diketahui hasilnya sebelum pemlihan”.
Setelah melihat video tersebut di atas, perasaan saya campur baur, antara, tertawa, sedih dan galau. Betapa tidak, dalam pergaulan Internasional, di mana-man, di berbagai belahan dunia pemilihan umum, untuk ganti presiden itu hal biasa dalam alam demokrasi.
Kita pun telah mengadopsi pemilihan umum sebagaimana halnya berlaku di berbagai negara seperti yang di sebutkan di atas. Amerika, sistemnya sudah sangat terbuka dan transparan. Dalam beberapa jam publik Amerika sudah mengetahuinya. Juga masyarakat Internasional. Amerika terlihat sangat demokratis dalam pemilihan umumnya.
Di Somalia, kata si pengamat di atas, butuh waktu, 20 sampai 30 hari baru mengetahui hasilnya. Di Negeri kita, kata si pengamat dengan ekspresi wajah datar dan menahan senyum mengatakan, “mereka sudah tahu hasil nya sebelum pemilihan”. Dan audiens pun tertawa gemuruh.
Di berbagai grup WA, video di atas viral. Setelah menyaksikan video tersebut, Drs Dahri Zaenal, seorang dosen dari Makean, Maluku Utara, berkomentar “demokrasi di Indonesia menjadi olok-olokan di forum internasional. Jadi jangan ada lagi yang merasa bangga kalau demokrasi Indonesia pernah menjadi salah satu negara demokrasi besar di dunia. Ya terima nasib, yang ada hanya rasa prihatin dan malu”.
Astaga ternyata, kualitas pemilu kita lebih rendah di banding dengan Somalia. Video yang bikin nyesak dada. Meski ikut tertawa juga. Tapi nyesak, serius.
Soal Pilpres pada 17 April 2019 lalu, penulis dengan berbagai tokoh dan aktifis seperti Dr Sri Bintang Pamungkas, Dr Eggie Sudjana, Ir Agus Maksum dan lain-lain dengan berbagai elemen masyarakat mendatangai kantor KPU, Bawaslu dan Mabes Polri menyoal data pemilu fiktif 17,5 juta yang harus di waspadai. Tapi ternyata, suara-suara kami tidak di dengar.
Bahkan saat ke Bareskrim Mabes Polri, kami sempat bersitegang dengan petugas SPKT. Dari gedungnya masih di Gedung Kementrian KKP Gambir sampai saat pindah ke kantor baru di Trunojoyo pun, penulis dan Dr Sri Bintang Pamungkas beserta sejumlah aktifis dicuekin. Dan akhirnya kami bubar.
Dan akhirnya KPU umumkan hasil pemilu, 21 Mei 2019, dini hari, di saat publik Indonesia di wilayah Barat, Tengah dan Timur masih tertidur lelap.
Soal mengantisipasi kecurangan pilpres ini, dalam beberapa kesempatan penulis ingat kan KPU dan Bawaslu agar netral, tidak memihak dan profesional, menjunjung tinggi nilai keadilan dan kebenaran serta berlaku jujur.
Pertanyaannya adalah apakah KPU dan Bawaslu menjadi timses petahana sehingga Pengamat Luar Negeri pun sudah tahu bahwa Pemilu di Indonesia sudah di ketahui sebelum diselenggarakan? Artinya Pilpres 2019 lalu memang curang. Ibarat pepatah: “Anjing menggonggong kafila berlalu”, segala protes dan kritikan tidak akan di gubris, karena penyelenggara dan pengawas pilpres telah menjadi timses petahana.
Demokrasi telah lama mati di Era Joko Widodo dengan Partai yang berjargon demokrasi perjuangan, sekalipun
Oleh Muslim Arbi, Direktur Gerakan Perubahan (Garpu)