Artikel ini ditulis oleh Arief Gunawan, Wartawan Senior.
PDIP & Golkar sekarang lagi dalam decaying process (proses pembusukan). Masing-masing kadernya, Ganjar Pranowo & Airlangga Hartarto lagi memantik kerusuhan internal, karena nyelonong jadi capres tanpa restu partai.
Manuver Airlangga untuk jadi capres di 2024 dianggap meresahkan para penghuni Beringin.
Bukan hanya karena hasil surveinya di kisaran nol persen, ia juga dianggap bukan manajer partai yang baik, karena banyak mengabaikan aspirasi kader Golkar di daerah, dan selama ini lebih banyak “bersolo karir” di kalangan elit kekuasaan dengan bendera Golkar demi kepentingan pribadi dan bisnis.
Selain itu dari sisi finansial kemampuan Airlangga untuk maju sebagai capres belum sebanding Ganjar Pranowo yang sudah mendapatkan dukungan finansial dari para taipan & mesin kampanyenya sudah bekerja secara masif.
Antara lain sudah membangun jaringan dengan sindikat media bayaran yang memprioritaskan pemuatan berita-berita Ganjar, menyewa lembaga-lembaga survei secara borongan (lebih dari satu lembaga survei), menyewa para analis politik, hingga membentuk tim relawan di berbagai daerah.
Beberapa senior Golkar yang resah terhadap manuver Airlangga memperingatkan bahwa Airlangga yang terkenal dengan sebutan “Anak Papi” bisa menjadi faktor yang akan menyeret Golkar ke dalam kehancuran, dan menjadikan Golkar yang dulu pernah memiliki success story berubah menjadi sekedar partai pengekor.
Apalagi terbetik kabar jika elektabilitas Ganjar menguat, Golkar akan dibawa oleh Airlangga untuk mendukung Gubernur Jawa Tengah itu.
Alih-alih mendapatkan restu dari ketua umumnya sendiri yaitu Megawati, Ganjar kabarnya sudah direstui oleh Jokowi untuk menjadi capres, dan ada kemungkinan akan disandingkan dengan Gibran Rakabuming, anak Jokowi yang kini wali kota Solo.
Itulah sebabnya suasana kebatinan Megawati saat ini disebut-sebut semakin galau, karena rating Puan kalah jauh dengan Ganjar.
Makanya belakangan ini muncul wacana Puan berpasangan dengan Andika Perkasa yang baru disetujui DPR jadi Panglima TNI, sebagai bagian dari usaha menaikkan rating.
Setelah sebelumnya coba di-setting berpasangan dengan Prabowo Subianto. Capres & cawapres yang gagal berkali-kali.
Kecenderungan naiknya rating Ganjar juga membuat Megawati resah berkaitan dengan kelangsungan masa depan PDIP.
Mega menginginkan PDIP tetap berada di tangan trah Sukarno, karena itu untuk menjadikan PDIP kuat dia menginginkan Puan jadi presiden.
Hal lainnya, konon, ada keyakinan di benak Mega bahwa trah Sukarno harus terus jadi orang nomor satu di negeri ini karena sudah merupakan “amanah leluhur”.
Kenapa Ganjar mendapat dukungan para taipan, dan sampai di titik ini Mega dianggap bukan faktor penting yang bisa memuluskannya jadi presiden?
Pertama, karena anggapan bahwa kekuatan uang lebih berkuasa. Partai-partai politik berada di bawah kekuasaan uang.
Kedua, para taipan ingin mengulang success story menaikkan presiden boneka pro Beijing, seperti yang mereka lakukan di Pilpres 2014. Yang dengan mudah, karena kekuatan uang, para taipan ini membentuk United Oligarchy bersama partai politik, parlemen, dan Pengpeng (penguasa merangkap pengusaha) yang pada dasarnya memang greedy dan tidak bekerja untuk rakyat.
Ketiga, capres boneka sangat mudah untuk dikendalikan saat menjadi presiden. Belum pernah terjadi dalam sejarah Republik oligarki berkuasa dengan kenikmatan seperti sekarang.
Di zaman Soeharto mereka hanya membidik proyek, di masa Presiden Gus Dur ruang gerak mereka sangat sempit, karena antara lain pengendali kebijakan perekonomian nasional saat itu dipegang oleh Rizal Ramli yang dengan integritasnya fokus membela kepentingan mayoritas rakyat.
Saat ini oligarki tidak lagi membidik proyek, tetapi ikut membuat, mengatur, dan menentukan kebijakan-kebijakan yang menghasilkan keuntungan berlipat ganda bagi mereka.
Salah satu contohnya adalah Undang-undang Omnibus Law dan sektor lainnya yang secara mudah mereka atur dan tentukan.
Inilah pula yang menjelaskan mengapa performance Ganjar sebagai capres sangat agresif karena memang telah mendapatkan dukungan dari para taipan yang terbukti mendapatkan kenikmatan yang sangat besar dari hasil menciptakan dan mengendalikan capres dan presiden boneka.
Hanya saja terdapat sedikit perbedaan meski sama-sama didukung oleh oligarki saat Jokowi naik di Pilpres 2014 beberapa elit PDIP masih ada yang mendorong Jokowi dari dalam.
Segelintir elit banteng waktu itu meyakinkan mendiang Taufik Kiemas dan Mega bahwa Jokowi layak dijadikan capres oleh PDIP, dengan alasan hasil survei yang memuaskan.
Saat ini boleh dibilang tidak ada elit PDIP yang bekerja menjadi promotor untuk Ganjar, atau bekerja dari dalam untuk meyakinkan Megawati.
Ganjar sendiri selain minim prestasi juga lekat dengan julukan Capres E-KTP, karena pernah berkali-kali diperiksa oleh KPK.
Bekas Ketua DPR Setya Novanto misalnya menyebutnya menerima US$ 500 ribu dari proyek E-KTP saat Ganjar masih anggota DPR.
Jika success story oligarki di Pilpres 2014 kembali terulang maka bencana demokrasi di Republik ini akan semakin parah, karena berbarengan dengan itu perekonomian akan semakin hancur, dan kekayaan alam negeri ini akan benar-benar ludes dihisap oligarki melalui tangan presiden boneka pro Beijing jilid kedua pasca Jokowi.
Rakyat saat ini membutuhkan pemimpin yang merupakan anti-tesis dari capres dan presiden boneka seperti saat ini.
Ialah pemimpin yang otentik, berciri problem solver, memiliki integritas, dan track record yang kuat memihak kepada kepentingan mayoritas rakyat.
Bukan gadungan-gadungan yang penuh kepalsuan hasil dari polesan pollsterRp, analisRp, dan sindikat media bayaran, yang karena perseption game menjadikan pemimpin boneka sebagai media darling, namun akhirnya menjadi media disgusting yang menjijikkan seperti yang nampak sekarang.
[***]